Buku Sang Nabi - Kahlil Gibran | Dok-Pegaf.com
/

Membaca Sang Nabi: Sebuah Meditasi Tentang Manusia

/
227 dilihat
3 menit baca
  • Judul: Sang Nabi
  • Penulis: Kahlil Gibran
  • Penerbit: Bentang Budaya, 2003
  • Jumlah Halaman: 161 Halaman
  • Bahasa: Indonesia

Ada buku yang tak habis dibaca meski sudah selesai dibaca. Ia tinggal lama di kepala, bahkan setelah halamannya ditutup, bahkan setelah tahun-tahun berlalu. Sang Nabi karya Khalil Gibran adalah salah satunya. Ia seperti suara yang tak berbunyi namun menggetarkan: seperti doa yang tak memohon tapi justru menyentuh sesuatu yang dalam di tubuh manusia—ia menyentuh makna.

Buku ini bukan kitab suci. Tapi juga bukan sekadar sajak. Ia bukan agama, tapi mengandung iman. The Prophet, dalam bahasa aslinya, adalah sebentuk kitab kecil yang bicara tentang cinta, pernikahan, anak-anak, pekerjaan, dan kematian—hal-hal biasa yang, ternyata, tak pernah sepenuhnya bisa dimengerti tanpa diam, tanpa perenungan. Seperti yang sering dilakukan Goenawan: diam dan berpikir tentang yang tak terdengar.

Almustafa, tokoh utama dalam buku itu, tak berbicara dengan suara keras. Ia lebih sering seperti membisikkan kata-kata kepada hati yang lelah. Ia akan segera meninggalkan kota Orphalese setelah dua belas tahun, tapi sebelum berlayar, ia diminta bicara. Dan dari sanalah semuanya mengalir. Dalam bahasa yang jernih namun tak sepenuhnya bisa ditangkap sekali baca.

Ketika Almustafa berbicara tentang cinta, ia tidak memberi nasihat. Ia tidak menjelaskan. Ia hanya membuka. “Jika cinta memanggilmu, ikutilah dia,” katanya, “meskipun jalannya sukar dan curam.” Kalimat itu tidak menasihati seperti orang tua. Ia tidak menggurui seperti pendeta. Ia justru menelanjangi cinta dari segala beban sosial dan membiarkannya menjadi sesuatu yang purba. Seperti laut: tak bisa dikendalikan, tapi selalu kita rindukan.

Baca juga:  Raja Ampat di Persimpangan

Saya teringat tulisan-tulisan Goenawan yang sering menolak kesimpulan. Yang selalu menyisakan pertanyaan. Dalam esai-esainya di Catatan Pinggir, ia jarang mengakhiri dengan garis tegas. Ia justru memberi ruang bagi pembaca untuk tinggal sejenak, untuk membiarkan kata-kata itu menggantung, seperti sebuah pertanyaan yang tak butuh jawaban.

Begitulah Gibran menulis. Ia tidak menutup pembicaraan, tapi membiarkannya terus bergema. Tentang anak, misalnya, ia menulis: “Anak-anakmu bukan anak-anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri.” Kalimat itu—seperti puisi, seperti renungan panjang yang tak bisa diringkas oleh logika—mengganggu sekaligus menenangkan.

Buku ini tak memberikan jalan keluar dari hidup, tapi justru mengajak kita tinggal di dalamnya. Ia tidak mempersenjatai kita dengan teori atau sistem nilai, tapi justru menanggalkan semuanya, agar kita bisa melihat manusia sebagaimana adanya: rapuh, agung, gelisah, dan mencintai.

Dan mungkin, seperti tulisan Goenawan, kita tak perlu terlalu tergesa mencari arti. Sebab dalam dunia yang terburu-buru, kata-kata Gibran hadir seperti jeda: sebuah tempat hening, tempat kita bisa mendengar suara yang pelan-pelan tumbuh di dalam dada. Suara yang tidak datang dari luar, tapi dari kita sendiri.

Dalam jeda itu, kita mendengar ulang hidup—bukan untuk memahaminya, tapi sekadar untuk menyapanya. *)

Penulis: Elany

*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Ia tertarik menulis di bidang sains, humanisme, dan sastra. Suka mancing, membaca, dan bikin puisi.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!