Di kota ini, pembangunan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Gedung-gedung menjulang, jalan-jalan diperlebar, dan baliho-baliho besar menjanjikan masa depan yang lebih baik. Pemerintah berbicara tentang kemajuan, investor menaruh uang, dan masyarakat berharap. Tapi ada satu hal yang luput dibangun: pikiran.
Manokwari—ibu kota Provinsi Papua Barat—adalah kota yang bertumbuh dalam diam. Ia berkembang secara fisik, tapi hatinya masih kosong. Ia seperti tubuh yang terus dibentuk, tapi tak pernah diberi jiwa. Tingkat buta huruf di sini masih tinggi. Itu bukan sekadar data, tapi kenyataan yang menyusup ke dalam dinding-dinding rumah, ke dalam ruang-ruang kelas yang kekurangan guru, ke dalam hidup anak-anak yang tak pernah mengenal dongeng.

Bacaan adalah kemewahan di kota ini. Perpustakaan adalah istilah yang lebih sering terdengar dalam pidato, bukan dalam kehidupan nyata. Buku-buku hanya hadir sebagai dekorasi di kantor pejabat, bukan sebagai kebutuhan masyarakat. Dan minat baca? Ia adalah bunga yang tak pernah benar-benar tumbuh, karena tanahnya tak pernah dipupuk.
**
Saya sering berpikir, apa artinya pembangunan jika masyarakatnya tak membaca? Kita bisa membangun rumah sakit, tapi tanpa bacaan, masyarakat tetap tak tahu cara hidup sehat. Kita bisa membangun kantor-kantor megah, tapi tanpa bacaan, kebijakan yang lahir akan tetap buta. Kita bisa membangun sekolah, tapi tanpa buku, pendidikan hanyalah ritus administratif.
Membaca adalah aktivitas sunyi, tapi dari kesunyian itu lahir peradaban. Bangsa-bangsa besar lahir dari kata-kata, dari puisi, dari filsafat, dari perdebatan panjang yang direkam dalam lembar-lembar buku. Tapi kita justru membangun tanpa membaca. Kita berjalan cepat, tapi tak tahu arah. Kita tumbuh, tapi tak mengakar.
Dalam kota yang minim bacaan, pengetahuan menjadi barang langka. Warga hidup dari cerita turun-temurun, tanpa pengetahuan yang disaring oleh literasi. Anak-anak dibesarkan tanpa referensi, remaja mencari identitas lewat media sosial yang tak pernah diajarkan cara menyaring informasi. Maka lahirlah generasi yang mudah percaya hoaks, yang alergi terhadap kritik, dan yang tak tahu cara berdialog.
**
Masalahnya bukan pada kemauan membaca, tapi pada ketiadaan akses. Buku-buku sulit ditemukan. Perpustakaan hanya ada di pusat kota, sementara kampung-kampung di perbukitan dan pesisir tetap gelap. Toko buku nyaris tak ada. Dan jika ada, isinya lebih banyak novel populer atau buku ujian daripada bacaan yang menggugah cara berpikir. Harga buku pun tak ramah untuk keluarga yang hidup pas-pasan.
Apa yang kita bangun selama ini? Infrastruktur fisik, tentu. Tapi infrastruktur pikiran? Belum. Kita belum benar-benar menyediakan fasilitas literasi sebagai bagian dari pembangunan. Kita belum menempatkan buku sebagai kebutuhan pokok, sejajar dengan air bersih dan listrik.
**
Bacaan seharusnya hadir di setiap sudut kota: di halte, di rumah ibadah, di balai kampung, bahkan di warung kopi. Buku seharusnya menjadi bagian dari lanskap kota. Karena kota yang tak membaca adalah kota yang tak berdialog. Ia tumbuh, tapi tak tahu siapa dirinya. Ia besar, tapi rapuh.
Di kota yang membaca, masyarakat mampu berdiskusi. Mereka tak sekadar menelan informasi, tapi mencerna. Mereka tak hanya mendengar, tapi bertanya. Mereka tak mudah digiring opini, karena mereka terbiasa berpikir.
Dan di kota yang membaca, pembangunan menjadi bermakna. Karena pembangunan tak lagi hanya soal angka dan grafik, tapi juga soal manusia—manusia yang sadar, manusia yang tahu hak dan tanggung jawabnya, manusia yang bisa membedakan antara janji dan kerja nyata.
**
Barangkali kita harus memulai dari yang kecil. Satu buku di satu kampung. Satu sudut baca di satu rumah. Satu anak yang jatuh cinta pada cerita. Karena perubahan besar sering lahir dari hal yang sederhana.
Saya teringat ucapan seorang kawan: “Pendidikan tak dimulai dari sekolah, tapi dari rasa ingin tahu.” Dan rasa ingin tahu lahir dari membaca. Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat membaca puisi, cerita, sejarah, dan pemikiran.
Maka tugas kita bukan sekadar membangun jalan. Tapi membangun jalan menuju pikiran. Menyediakan jendela-jendela yang bisa dibuka anak-anak kita untuk melihat dunia lebih luas dari kampung halamannya.
**
Manokwari tak boleh hanya menjadi kota pembangunan fisik. Ia harus menjadi kota yang berpikir, kota yang membaca, kota yang berdialog. Kota yang tumbuh bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.
Karena sesungguhnya, kota yang tak membaca adalah kota yang sunyi. Ia mungkin ramai oleh kendaraan, proyek, dan pidato. Tapi di dalamnya, tak ada suara. Hanya gema kosong dari masa depan yang tak pernah dipersiapkan.
Dan pembangunan sejati—yang akan bertahan melampaui masa jabatan, rezim, dan musim—hanyalah pembangunan yang dimulai dari huruf pertama yang dibaca seorang anak. *)
Penulis: Elany
Editor: Dilina
Ilustrator: Gavier