Ilustrasi Sepi di Pasar Irai | Dok. Pegaf.com/Gavier
Ilustrasi Sepi di Pasar Irai | Dok. Pegaf.com/Gavier
/

Sepi di Pasar Irai

Pagi Tanpa Pembeli di Pasar Rakyat Irai

/
1407 dilihat
4 menit baca

Setiap Senin pagi, sebelum ayam sempat berkokok dan langit Anggi memudar dari hitam ke kelabu, Ibu Rensina sudah bersiap. Di belakang rumah kayunya yang rapuh, ia mendorong perlahan sebuah gerobak bangunan—besi berkarat, berat, dengan roda besar satu di tengah yang sudah peyang sebelah.

Gerobak itu dulu milik almarhum suaminya, yang pernah bekerja sebagai tukang batu sebelum hilang dalam longsoran tebing proyek irigasi di Bintuni. Setelah kepergian suaminya, Rensina menjadikannya teman setia. Bukan untuk mengangkut semen dan batu, tapi sayur dari kebun kecil: wortel, daun bawang, dan sedikit umbi-umbian.

Jalanan yang dilaluinya sudah mulus. Aspal hitam itu baru rampung enam bulan lalu, hasil proyek kabupaten yang digadang-gadang membuka akses ekonomi. Tapi di atas jalan itu, tak ada kendaraan umum, tak ada ojek desa, tak ada mobil bak terbuka yang lewat pagi-pagi begini. Jalan itu kosong, seperti ruang kosong dalam hidup Rensina yang tak pernah benar-benar diisi lagi sejak suaminya tiada.

Pasar Irai berdiri di lembah: bangunan permanen dengan los-los berjejer rapi. Tapi jam hidupnya singkat—hanya dari pukul lima sampai tujuh pagi. Setelah itu, sunyi kembali mengambil alih. Bukan karena para pedagang ingin pulang cepat, tapi karena pembeli tak kunjung datang. Ekonomi mandek. Dana kampung tak cair. Daya beli mati pelan-pelan.

Baca juga:  Negeri yang Menyembah Ketakutan, dan Puisi Lainnya

Ibu Rensina tiba di pasar tepat pukul lima. Kabut masih menggantung, dan hanya dua lapak lain yang terbuka. Ia membentang karung bekas semen sebagai alas, menata sayurnya rapi, lalu duduk di atas ember terbalik.

Orang-orang lewat. Satu-dua pejalan kaki, sebagian buru-buru ke ladang. Beberapa menoleh, tak sedikit yang tersenyum iba, lalu berlalu.

“Maaf Mama, uang belum turun dari distrik,” kata seorang ibu muda yang lewat sambil menggandeng anaknya. Kalimat yang sama. Minggu lalu. Dua minggu lalu. Bulan lalu.

Jam enam lewat lima belas, angin mulai naik dari danau. Pedagang di sebelahnya sudah mulai berkemas. Rensina masih menunggu, walau dalam hati sudah tahu: semuanya akan dibawa pulang lagi.

Pukul tujuh kurang lima, ia mulai menata ulang dagangan ke dalam gerobak. Masih utuh. Bahkan tak satu ikat pun disentuh pembeli. Ia berdiri pelan, menggenggam gagang gerobak bangunan itu, lalu mendorongnya mendaki jalan aspal kembali.

Gerobak itu berat. Tidak diciptakan untuk sayur, apalagi untuk perempuan seusianya. Tapi tak ada pilihan. Hanya itu satu-satunya sarana angkut yang ia punya.

Saat tiba di rumah, Yakob—anak semata wayangnya—sudah duduk di depan rumah, menggambar sesuatu di tanah.

“Tidak laku lagi, Mama?” tanyanya, tanpa menoleh.

Rensina menggeleng sambil tersenyum. “Belum. Tapi minggu depan Mama coba lagi.”

Yakob berdiri, lalu memegang roda gerobak yang kotor. “Nanti kalau saya besar, saya buat gerobak khusus jual sayur. Tidak pakai yang buat bangun rumah.”

Baca juga:  Membaca “Manifesto Politik Yesus” Guche Lugo: Tafsir Iman yang Menggugat

Rensina tertawa kecil, lalu mengusap rambut Yakob yang mulai panjang.

“Kalau begitu, Mama harus panjang umur. Biar bisa lihat kamu bikin gerobak itu.”

Mereka tertawa. Di atas Pegunungan Arfak, langit mulai terang. Matahari muncul malu-malu dari balik bukit. Dan di satu rumah kecil di pinggir jalan aspal, seorang ibu kembali menyimpan harapan dalam diam: bahwa suatu hari, pasar akan hidup. Sayur akan dibeli. Dan gerobak bangunan itu tak perlu lagi mendorong sepi pulang ke rumah. *)

Penulis: Elany

*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Penulis cerpen dan puisi di media lokal maupun nasional. Suka memancing, membaca, dan menulis.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!