Ilustrasi Bupati Manokwari: Penghargaan Heboh, Rakyat Masih Resah | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi Bupati Manokwari: Penghargaan Heboh, Rakyat Masih Resah | Dok. Pegaf.com / Gavier
/

Bupati Manokwari: Penghargaan Heboh, Rakyat Masih Resah

/
2636 dilihat
6 menit baca

EDITORIAL, Pegaf.com — Bupati Manokwari, baru saja menyandang predikat sebagai Kepala Daerah Terbaik Tingkat Kabupaten bidang Tata Kelola Pemerintahan dalam ajang Pimred Award 2025 yang digelar Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (FPRMI). Acara bergengsi itu berlangsung meriah di Hotel Aston Serang, Banten, dan menempatkan Bupati Manokwari sebagai satu-satunya bupati asal Papua yang meraih penghargaan tersebut.

Namun, di balik gemerlap penghargaan, kondisi riil di Manokwari berbicara lain. Masalah mendasar yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, khususnya pada sektor infrastruktur dan pelayanan publik, masih jauh dari kata memadai.

Jalan Rusak dan Kota yang Tidak Aman

Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat 2024, dari total 318,6 kilometer jalan kabupaten di Manokwari, sekitar 39% dinyatakan dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Kawasan seperti Wosi, Amban, dan Sowi Gunung menjadi lokasi yang sering dikeluhkan warga karena lubang jalan yang dibiarkan terbuka selama berbulan-bulan.

Ilustrasi Bupati Manokwari: Penghargaan Heboh, Rakyat Masih Resah | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi Bupati Manokwari: Penghargaan Heboh, Rakyat Masih Resah | Dok. Pegaf.com / Gavier

Di musim hujan, kondisi memburuk. Jalan berlubang tergenang air, menyebabkan kecelakaan lalu lintas meningkat. Data dari Satlantas Polres Manokwari mencatat peningkatan 18% kecelakaan ringan sepanjang 2024, mayoritas akibat kerusakan jalan dan tidak berfungsinya lampu lalu lintas.

Lampu lalu lintas di simpang Jalan Reremi dan Swapen bahkan mati total, berdasarkan laporan warga dalam kanal aduan Pemerintah Kabupaten di media sosial resmi. Namun, hingga pertengahan Juli 2025, belum ada tanda-tanda perbaikan.

Kondisi lalin yang tidak berfungsi di sepanjang Jl. S. Condronegoro Kec. Manokwari Barat (Selasa, 22 Juli 2025) | Dok. Pegaf.com / Gavier
Kondisi lalin yang tidak berfungsi di sepanjang Jl. S. Condronegoro Kec. Manokwari Barat (Selasa, 22 Juli 2025) | Dok. Pegaf.com / Gavier

Parkir Liar dan Anak-anak yang Dieksploitasi

Praktik parkir liar di kawasan Pasar Sanggeng, Borobudur, Jalan Pahlawan, hingga Wosi tak hanya meresahkan sebagian pengguna jalan, tapi juga mengungkap persoalan sosial yang lebih dalam: anak-anak di bawah umur terlibat sebagai pemungut parkir liar.

Baca juga:  Mahasiswa Manokwari Gelar Aksi Damai, Pemerintah Papua Barat Imbau Jaga Ketertiban

Penelusuran tim redaksi menemukan bahwa dalam satu hari, seorang anak bisa memungut Rp50.000–Rp70.000 dari aktivitas parkir liar—uang yang tidak masuk ke kas daerah. Ini adalah bentuk maladministrasi tata kelola ruang publik, sekaligus mencerminkan lemahnya pengawasan aparat terhadap eksploitasi anak.

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi. Maka jika kondisi ini terus dibiarkan, Pemkab Manokwari justru sedang melanggar prinsip dasar keadilan sosial.

Transportasi Publik yang Nyaris Tak Ada

Masalah lainnya adalah ketiadaan sistem transportasi umum yang terstruktur dan memadai di Manokwari. Sejak 2020, trayek angkutan kota hanya beroperasi terbatas dan banyak yang berhenti karena tidak layak jalan atau tidak mendapat subsidi operasional. Saat ini, lebih dari 75% warga Manokwari menggunakan kendaraan pribadi atau ojek sebagai satu-satunya moda transportasi—beberapa sudah mulai beradaptasi ke angkutan online seperti Maxim.

Hal ini diperparah dengan tidak adanya kebijakan daerah yang mendukung pembangunan transportasi publik ramah lingkungan dan terjangkau, meski telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 11 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Perkotaan.

Warga kelas menengah ke bawah—seperti pelajar, pedagang kecil, dan lansia—adalah kelompok yang paling terdampak. Mereka terpaksa berjalan jauh atau membayar mahal untuk akses sekolah, pasar, atau layanan kesehatan.

Dana Telat, Pelayanan Terhambat

Masuk Juli 2025, gaji ke-13 untuk ASN dan honorarium untuk guru honorer serta tenaga kesehatan di Manokwari sering terlambat dibayarkan. Keluhan pun membanjiri media sosial dan WhatsApp grup komunitas. Beberapa guru honorer bahkan mengaku sudah tiga bulan belum menerima honor. Begitu juga dengan penyaluran Dana Desa, yang sering terlambat dicairkan.

Baca juga:  Brida: Ketika Cinta Menjadi Jalan Menuju Diri Sejati

Kondisi ini menimbulkan kegelisahan luas. Aparat kampung kesulitan menjalankan program rutin, seperti pengadaan posyandu, pembangunan jalan kampung, atau pembayaran honor aparat. Di beberapa distrik seperti Masni dan Warmare, kepala kampung harus berutang ke koperasi lokal agar roda pelayanan tetap berjalan.

Dalam framework tata kelola keuangan publik, prinsip efisiensi dan ketepatan waktu adalah fundamental. Keterlambatan dalam menyalurkan hak-hak dasar masyarakat bukan hanya kesalahan administratif, tetapi mencerminkan disfungsi struktural dalam perencanaan dan realisasi APBD.

Ketimpangan Narasi dan Kenyataan

Tentu saja, kita tidak menafikan kerja keras seorang kepala daerah. Bupati Manokwari adalah figur muda Papua yang dalam banyak hal cukup komunikatif dan terbuka terhadap media. Namun, pemberian penghargaan atas dasar narasi media, relasi komunikasi, atau banyaknya artikel daring—tanpa memeriksa realita pelayanan publik—adalah preseden yang keliru.

Menurut pemikiran John Rawls, keadilan sosial hanya bermakna bila negara memihak kepada yang paling rentan. Di Manokwari hari ini, mereka yang paling rentan tidak merasakan perubahan. Mereka hanya melihat berita penghargaan, sementara jalanan tetap rusak, upah mereka tak dibayar, dan anak-anak mereka menjadi juru parkir liar.

Apakah ini yang dimaksud sebagai tata kelola terbaik?

Akhirnya, Yang Dibutuhkan Adalah Bukti

Rakyat Manokwari tidak iri pada penghargaan. Mereka tidak cemburu pada panggung hotel atau piagam emas. Mereka hanya ingin pemerintahnya hadir: di jalan yang mereka lalui setiap hari, di ruang sekolah yang murid-muridnya belajar tanpa biaya tambahan yang membebani, dan di meja makan tempat mereka menghitung beras sambil menunggu honor cair.

Baca juga:  Bupati Pegaf: Penghargaan yang Terdengar Aneh

Jika penghargaan tak disertai perubahan nyata, maka yang tersisa hanyalah citra kosong. Bukti paling sahih dari keberhasilan pemerintahan adalah ketika rakyatnya berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Jadi, kepada Bupati Manokwari, semoga penghargaan ini tak berhenti sebagai simbol. Jadikan ia alarm moral, tanda bahwa kini waktunya membuktikan: apakah pujian dari luar akan diikuti oleh perubahan nyata di dalam? *)

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Dilina

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!