/

Abolisi untuk Tom Lembong, Ujian Keadilan Presiden

/
1174 dilihat
7 menit baca

Reaksi Publik dan Elite Politik

Sejumlah kalangan menyatakan kekecewaannya terhadap langkah ini. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti, mengatakan bahwa, “dampak jangka panjangnya itu yang berbahaya sekali bagi pemberantasan korupsi, bahayanya pertama berati kan pengampunan-pengampunan ini bisa terus diberikan tergantung dari relasi politik dari orang itu, dari terpidananya, relasi politiknya, bisa karena kedekatan personal, bisa juga karena hal-hal yang sifatnya sangat politik seperti yang dilakukan terhadap Hasto.”

Di sisi lain, loyalis Prabowo membela keputusan ini. Mereka menilai bahwa Tom Lembong adalah korban politisasi hukum, terutama karena sikap kritisnya terhadap kebijakan industri ekstraktif beberapa tahun terakhir. Dalam wawancara CNN Indonesia (31 Juli 2025), anggota Komisi III DPR dari Gerindra menyebut keputusan Presiden sebagai “bentuk keberanian politik untuk mengoreksi ketidakadilan dalam sistem hukum kita.”

Namun, apakah “keberanian politik” bisa menggantikan proses hukum yang transparan?

Transparansi dan Urgensi, Dimana?

Publik berhak tahu alasan dan dasar hukum lengkap pemberian abolisi. Jika Presiden meyakini bahwa Tom Lembong tidak bersalah atau menjadi korban kriminalisasi, maka narasi dan dokumen pendukung harus dibuka ke publik. Transparansi adalah satu-satunya cara untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Hingga kini, belum ada konferensi pers resmi dari Istana yang menjelaskan secara rinci alasan abolisi tersebut. Jika keputusan besar seperti ini dilakukan tanpa penjelasan menyeluruh, maka akan menumbuhkan kecurigaan: ada apa di balik layar?

Baca juga:  Profil Kompol Cosmas: Dipecat Usai Kasus Affan

Dampak Jangka Panjang: Preseden atau Pelemahan?

Yang perlu diingat: tindakan Presiden hari ini bukan hanya berdampak pada satu kasus. Ia menciptakan preseden hukum dan politik yang bisa digunakan kembali oleh pemimpin masa depan. Jika abolisi digunakan secara longgar, maka akan menjadi celah bagi elite untuk lolos dari jerat hukum.

Bayangkan jika setiap pejabat negara yang diperiksa oleh KPK bisa dengan mudah meminta abolisi kepada Presiden. Maka, seluruh sistem penegakan hukum kehilangan makna. Tidak ada lagi rasa takut terhadap korupsi, karena akhirnya bisa dinegosiasi melalui jalur kekuasaan.

Saatnya Menegaskan Batas Kekuasaan

Abolisi adalah hak konstitusional Presiden, tetapi hak itu bukan tanpa batas. Ia harus digunakan dengan itikad baik, melalui mekanisme transparan, dan dengan dasar hukum yang kuat.

Presiden Prabowo Subianto, dalam bulan-bulan awal pemerintahannya, tengah diuji oleh sejarah. Apakah ia akan dikenal sebagai pemimpin yang menjunjung tinggi hukum, atau justru membuka jalan bagi politisasi hukum lebih lanjut?

Masyarakat sipil, media, akademisi, dan institusi pengawas negara harus mengambil peran aktif mengawal proses ini. Kita harus bertanya, mengapa proses hukum Tom Lembong dihentikan? Apa dampaknya terhadap integritas hukum Indonesia ke depan?

Karena jika keadilan tidak hanya perlu ditegakkan, tetapi juga tampak ditegakkan. Dan hari ini, publik belum melihat itu. *)

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Dilina

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!