EDITORIAL, Pegaf.com — Menjelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80, langit Indonesia tidak hanya dihiasi Merah Putih. Di sejumlah wilayah, terlihat simbol tengkorak dan tulang bersilang: Jolly Roger, bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Bukan sekadar tren anak muda, pengibaran bendera ini menjadi bentuk simbolik protes terhadap kondisi negara: korupsi yang merajalela dan kian menurunnya ruang ekspresi publik.
Pemerintah, melalui Menko Polhukam, merespons keras. Mereka menyebut pengibaran Jolly Roger berpotensi dipidana karena dinilai menghina simbol negara. Namun, benarkah ini ancaman hukum? Ataukah ini justru pertanda negara semakin gagal memahami bahasa kritik warganya?
Ekspresi Simbolik sebagai Hak Konstitusional
Hak menyatakan pendapat dan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Mengibarkan bendera bajak laut—sebuah simbol budaya pop, bukan simbol politik atau keagamaan—merupakan bagian dari ekspresi artistik dan kritik sosial. Dalam teori komunikasi politik, ekspresi simbolik merupakan bentuk non-verbal resistance terhadap dominasi wacana negara (Scott, 1990). Ini adalah hidden transcript—suara-suara rakyat yang keluar melalui simbol, bukan slogan politik formal.
Jolly Roger: Antitesis dari Negara yang Dianggap Bobrok
Dalam One Piece, Jolly Roger bukan lambang kriminalitas, tetapi simbol pembebasan. Luffy dan kru Topi Jerami justru mewakili nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap sistem yang korup—mirip dengan citra negara kita saat ini menurut survei publik.
Menurut Survei Indikator Politik Indonesia (Juli 2025), 78,4% responden menilai korupsi di tingkat elit makin parah, dan 65,2% menganggap pemerintah cenderung antikritik. Artinya, pengibaran Jolly Roger bukan sekadar “ikut-ikutan anime”, tetapi resonansi simbolik terhadap kondisi sosial-politik aktual.