Ilustrasi Penghargaan yang Terdengar Aneh | Dok. Pegaf.com
/

Bupati Pegaf: Penghargaan yang Terdengar Aneh

/
2061 dilihat
4 menit baca

OPINI, Pegaf.com — Ada yang terasa ganjil, ketika sebuah kabupaten yang belum selesai dengan kekosongan kas daerah, infrastruktur yang remuk, dan jalan-jalan yang terputus oleh lumpur dan waktu, tiba-tiba dielu-elukan. Bupati Pegunungan Arfak (Pegaf), dalam sebuah pemberitaan media, diganjar penghargaan sebagai kepala daerah terbaik di bidang inovasi dan infrastruktur. Sebuah penghargaan yang terdengar seperti lelucon yang diucapkan terlalu serius.

Tentu, penghargaan bukanlah dosa. Ia adalah bentuk pengakuan, meski pengakuan itu kadang lebih cepat datang daripada perbaikan yang seharusnya dikejar. Pegaf hingga hari ini masih terengah-engah dalam hal-hal paling dasar: harga bahan pokok yang melambung tinggi, di mana beras dijual seharga Rp22.000 hingga Rp27.000 per kilogram—jauh dari harga eceran tertinggi (HET) nasional. Masyarakat Pegaf pun masih berhadapan dengan kas daerah yang sering kosong, bahkan pada triwulan kedua tahun 2025 pemerintah daerah sempat menunda pembayaran gaji ASN dan dana operasional akibat kas kosong. Pendapatan asli daerah (PAD) Pegaf pun pada tahun 2025 tercatat hanya sekitar Rp3,2 miliar, angka yang jauh dari memadai untuk membiayai kebutuhan daerah.

Ilustrasi Penghargaan yang Terdengar Aneh | Dok. Pegaf.com

Ironis. Tapi, mungkin beginilah cara kita hidup dalam semacam keganjilan yang dinormalisasi. Pegaf masih tertinggal, bukan hanya dalam statistik, tapi dalam pengalaman sehari-hari warganya. Di sana, menjadi warga berarti berdamai dengan keterbatasan: akses kesehatan yang timpang dengan minimnya tenaga medis dan fasilitas rawat inap, pendidikan yang tidak memadai dengan banyak sekolah kekurangan guru, dan daya beli masyarakat yang melemah di tengah gejolak harga.

Baca juga:  WTP Bukan Jaminan Bebas Korupsi — Refleksi untuk Pegunungan Arfak

Dalam laporan LKPJ Pemerintah Daerah Pegaf 2025, indikator pelayanan publik banyak yang belum mencapai target, mulai dari distribusi obat, rasio guru-siswa, hingga minimnya peningkatan akses air bersih. Seorang warga dari Distrik Anggi pernah berkata dalam sebuah forum komunitas, “Kami tidak butuh piagam, kami butuh jalan yang bisa dilalui.” Ucapan sederhana itu barangkali lebih tepat menjadi ukuran kemajuan.

Tetapi, seperti biasa, seremoni dan foto bersama selalu lebih cepat daripada kerja nyata. Media, terkadang, lebih sibuk memberitakan medali ketimbang memeriksa lubang-lubang di jalan kabupaten. Kita lupa, atau mungkin sengaja melupakan, bahwa jalan menuju kemajuan bukan sekadar jalan menuju panggung penghargaan. Ia harusnya jalan yang nyata, yang bisa dilalui oleh warga desa dengan sepeda motor yang tidak tergelincir karena lumpur.

Data BPS Papua Barat 2025 mencatat lebih dari 63% jalan di Pegaf masih dalam kondisi rusak dan belum teraspal. Bahkan akses antar distrik seperti Minyambou dan Taige masih kerap terputus saat musim hujan. Jalan-jalan itu bukan hanya soal infrastruktur, tetapi soal akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Tanpa jalan yang layak, warga tetap terisolasi.

Mungkin, penghargaan itu lebih menggambarkan keberhasilan membangun narasi, bukan keberhasilan membangun jalan. Ia adalah selebrasi atas bayangan, bukan atas kenyataan. Pegaf, seperti banyak tempat di pinggiran republik ini, belum butuh pujian. Mereka butuh pelayanan publik yang hadir, harga bahan pokok yang wajar, dan jalan yang tidak lagi menjadi simbol keterasingan.

Baca juga:  Menyoal Kolaborasi Eksekutif dan Yudikatif di Pegunungan Arfak

Seperti yang pernah dikatakan oleh penyair dan filsuf Khalil Gibran, “Kemajuan bukanlah suatu perlombaan, tetapi perjalanan menuju kebaikan yang sesungguhnya.” Kadang kita lupa, bahwa pembangunan bukan soal siapa yang mendapat piagam. Ia adalah soal siapa yang hidup lebih baik hari ini. Dan hari ini, di Pegaf, hidup masih terasa berat. *)

Penulis: Elany
Editor: Dilina
Ilustrator: Gavier

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!