BUDAYA, Pegaf.com — Ribuan orang kembali memadati Black Rock Desert, Nevada, dalam gelaran Burning Man 2025 yang berlangsung dari 24 Agustus hingga 1 September 2025. Festival tahunan yang telah menjadi ikon kebebasan berekspresi, inovasi seni, dan eksperimen sosial ini tahun ini mengusung tema “Interwoven Realities”, menggambarkan keterhubungan antara dunia nyata, dunia digital, dan alam yang kian rapuh.
Transformasi Seni di Tengah Gurun
Sejak awal, Burning Man selalu identik dengan karya seni instalasi raksasa yang memukau. Tahun ini, lebih dari 400 instalasi seni dipamerkan, sebagian besar menggabungkan elemen augmented reality (AR) dan kecerdasan buatan (AI). Salah satu yang menarik perhatian adalah “The Pulse of Earth”, sebuah kubah interaktif yang menampilkan denyut bumi secara real-time berdasarkan data iklim global.

Pengunjung dapat berinteraksi dengan karya itu menggunakan perangkat AR, memvisualisasikan suhu bumi, emisi karbon, dan pola cuaca yang terus berubah. Instalasi ini tidak hanya menjadi pusat perhatian, tetapi juga memicu diskusi hangat tentang masa depan planet yang semakin terancam.
Teknologi dan Kehidupan Komunal
Burning Man bukan sekadar festival musik atau pesta bebas. Ia adalah eksperimen sosial yang mendorong peserta untuk membangun komunitas sementara dengan prinsip radical self-reliance, inclusion, dan gifting. Tahun 2025, teknologi memainkan peran lebih besar dalam mendukung ekosistem tersebut.
Aplikasi resmi Burning Man kini dilengkapi fitur peta dinamis berbasis blockchain yang memungkinkan peserta berbagi lokasi, sumber daya, dan jadwal acara tanpa mengorbankan privasi. Selain itu, sistem energi terbarukan diperluas: panel surya portabel dan turbin angin mini mendukung sebagian besar kamp, mengurangi jejak karbon acara ini hingga 15 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Burning Man selalu menjadi laboratorium ide masa depan. Tahun ini, kami tidak hanya bicara seni, tetapi juga bagaimana teknologi dapat mendukung kehidupan berkelanjutan,” kata Marian Goodell, CEO Burning Man Project.
Krisis Iklim: Tema yang Tak Terhindarkan
Cuaca ekstrem kembali menjadi tantangan besar. Suhu siang hari mencapai 42°C dengan badai debu yang lebih sering terjadi. Beberapa peserta mengalami dehidrasi, meski tim medis lapangan sigap memberikan pertolongan. Perubahan iklim kini bukan sekadar isu global, tetapi realitas yang menguji ketahanan komunitas Burning Man.
Banyak karya seni dan diskusi publik di festival ini mengangkat isu krisis iklim. “Desert Will Remember”, sebuah patung kayu setinggi 12 meter, menjadi simbol pesan ekologis tersebut. Patung ini menggambarkan tangan raksasa yang perlahan terkubur pasir, mengingatkan manusia bahwa bumi dapat menelan peradaban jika eksploitasi terus berlanjut.
“Burning Man tahun ini terasa lebih politis dan reflektif. Kami datang untuk merayakan seni, tetapi juga pulang dengan kesadaran baru tentang tanggung jawab terhadap bumi,” ujar Liam Torres, peserta asal California.
Tantangan Komersialisasi
Seiring popularitas yang terus meningkat, Burning Man menghadapi dilema lama: menjaga esensi festival sebagai ruang bebas komersialisasi. Tiket reguler terjual habis dalam hitungan jam, dengan harga rata-rata mencapai US$575, belum termasuk biaya transportasi dan perlengkapan.
Meski ada upaya membatasi kamp mewah yang dikenal sebagai “plug-and-play camps”, fenomena elitisme tetap menjadi perdebatan panas di media sosial. Banyak peserta veteran mengkhawatirkan festival ini berubah menjadi ajang eksklusif yang jauh dari semangat awalnya.
“Burning Man harus tetap menjadi ruang semua orang, bukan hanya mereka yang mampu membayar mahal. Semangat komunitas lahir dari kesetaraan,” tulis salah satu peserta di forum resmi Burning Man.
Seni Api yang Menggetarkan
Puncak acara tetap menjadi pembakaran patung manusia raksasa atau “The Man”, yang tahun ini setinggi 24 meter. Ribuan orang berkumpul mengelilinginya pada malam pembakaran, menyaksikan api melahap struktur kayu tersebut hingga runtuh.

Tradisi ini melambangkan pelepasan, transformasi, dan siklus kehidupan. Tahun ini, api membumbung di tengah angin kencang, menciptakan panorama dramatis yang segera dibanjiri unggahan di media sosial dengan tagar #BurningMan2025.
Namun, penyelenggara mengimbau peserta untuk mengurangi dokumentasi berlebihan dan lebih hadir secara nyata. “Esensi Burning Man adalah pengalaman langsung, bukan sekadar konten,” ujar Goodell dalam konferensi pers penutupan.