/4
Malamnya, aku menulis surat yang tidak akan kukirim:
Kepada Bupati,
Saya tahu, Bapak ingin meningkatkan pendapatan daerah. Tapi izinkan saya bertanya:
Apakah uang dari alkohol bisa membeli kembali masa kecil saya?
Apakah ia bisa memulihkan tangan ibu saya yang dulu membiru?
Apakah ia bisa mengganti guru-guru yang harus menjemput murid dari jalan karena mereka pingsan dalam teler?
Saya tahu, surat ini mungkin tidak akan dibaca. Tapi saya menulisnya agar saya tidak gila.
/5
Di jalan pulang, aku melihat dua anak muda duduk di atas motor, meminum sesuatu dari plastik bening. Bau alkohol menusuk. Salah satu dari mereka tersenyum padaku. Giginya kuning. Matanya sayu. Aku membalas dengan senyum kecut—senyum orang yang tidak tahu harus berharap pada siapa lagi.
Langit mulai gerimis. Di jalan-jalan kota injil ini, hujan belum bisa membasuh luka yang bernama izin.
/EPILOG
Di ujung malam, aku membaca puisi dalam hati:
“Orang-orang membuat aturan,
tapi lupa bahwa hidup bukan hanya tentang legal atau ilegal.
Ia juga tentang luka yang dibawa pulang oleh anak-anak,
tentang ibu yang lelah berkata cukup,
tentang kota yang hanya tampak saleh di spanduk dan papan nama.”
Dan aku tahu, jika puisi bisa menyelamatkan siapa pun, maka puisi ini akan kupahat di setiap dinding toko yang menjual alkohol. Akan kutulis di langit-langit ruang sidang. Akan kuukir di hati para pejabat, agar mereka tahu: izin tak pernah bisa menggantikan hidup. *)
Penulis: Elany
*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Tertarik menulis di bidang humanisme dan sastra. Suka mancing, membaca, dan bikin puisi.