HUMANIORA, Pegaf.com — Ada saatnya manusia berhenti. Bukan karena letih, tetapi karena ingin mendengar kembali detak jantungnya sendiri. Dunia hari ini seperti arus deras yang menyeret kita ke segala arah—pekerjaan, layar, berita, dan janji-janji yang harus ditepati. Di tengah riuh itu, filsafat Zen hadir seperti bisikan di telinga: “Diamlah sejenak. Rasakan napasmu. Engkau masih ada di sini.”
Akar yang Tumbuh dari Keheningan
Zen lahir dari perjumpaan panjang antara Buddhisme Mahayana dan filsafat Tao, berakar di Tiongkok sebagai Chan, lalu berlayar ke Jepang. Ia tidak menawarkan dogma tebal atau kitab-kitab penuh aturan, melainkan mengajak kita menyentuh kehidupan secara langsung. Zen percaya, realitas sejati tidak ditemukan dalam kata-kata, tetapi dalam kesadaran yang hadir penuh.

Bagi Zen, setiap momen adalah rumah. Tidak ada masa lalu untuk disesali, tidak ada masa depan untuk dikejar dengan cemas. Ada hanya sekarang—setetes air yang jatuh di daun, matahari yang pelan menyentuh dinding pagi.
Hadir di Saat Ini
Kita sering hidup seperti bayangan yang berlari mendahului tubuh. Pikiran melayang ke masa depan, hati tertinggal di masa lalu. Zen mengajak kita kembali: duduk diam, napas mengalir, mata setengah tertutup, pikiran dibiarkan datang dan pergi seperti awan. Latihan ini disebut zazen—meditasi duduk yang sederhana, tetapi mampu memulihkan jiwa yang letih.
Di sini, keheningan bukanlah ketiadaan. Ia adalah ruang luas tempat pikiran beristirahat, seperti danau yang permukaannya tenang dan memantulkan langit.