Kritik Publik: Kesenjangan dengan Kondisi Rakyat
Di sisi lain, kebijakan ini memantik kritik karena dinilai kontras dengan kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Menurut data BPS 2024, rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan hanya sekitar Rp 3,9 juta di perkotaan.
Sementara itu, harga kontrakan rumah sederhana di Jakarta berkisar Rp 2–6 juta per bulan.
Perbedaan mencolok ini membuat sebagian kalangan menilai kebijakan tunjangan perumahan DPR sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi rakyat.
Bagaimana Fasilitas Ini Dibandingkan Periode Sebelumnya?
Pada periode 2019–2024, anggota DPR juga mendapatkan tunjangan perumahan dengan nilai yang bervariasi, namun rata-rata berada di kisaran Rp 30–40 juta per bulan.
Kenaikan menjadi Rp 50 juta disebut mengikuti inflasi harga properti dan kebutuhan ruang tinggal di kawasan strategis Jakarta.
Meski demikian, tidak semua pihak setuju dengan besaran kenaikan tersebut.
Tanggapan Lain dari Pimpinan DPR
Adies menambahkan, “Mereka harus kontrak rumah jadi harus ada parkirnya untuk mobilnya. Garasi itu jadi pertimbangan.”
Pernyataan ini seolah mempertegas bahwa tunjangan besar tersebut lebih ditujukan untuk memenuhi standar hidup anggota dewan, bukan semata kebutuhan dasar.
Pimpinan DPR sendiri tidak menerima tunjangan tersebut karena telah mendapatkan rumah dinas dari negara.
Kebutuhan atau Privilege?
Debat mengenai tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp 50 juta per bulan mencerminkan dilema antara fasilitas pejabat negara dan keadilan sosial.
Di satu sisi, fasilitas itu dianggap wajar untuk menunjang kinerja legislatif di ibu kota.
Namun, di sisi lain, publik mempertanyakan urgensinya di tengah ketimpangan ekonomi yang masih lebar.
Transparansi dan mekanisme pengawasan penggunaan anggaran menjadi kunci agar kebijakan ini tidak dianggap sebagai bentuk privilese berlebihan. *)
Reporter: Juan
Editor: Dilina