EDITORIAL, Pegaf.com — Pernyataan Bupati Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) terkait tidak diakomodirnya tunjangan operasional tahun 2025 kepada pejabat eselon 3a, 3b, dan eselon 4 menimbulkan kegaduhan birokrasi yang serius. Tunjangan yang sebelumnya rutin dibayarkan selama satu dekade itu, kini lenyap tanpa penjelasan anggaran yang sahih. Dalam konteks manajemen publik, ini bukan semata urusan anggaran, melainkan perihal keadilan fiskal dan tanggung jawab etis dari seorang pemimpin daerah.
Merujuk pada Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Jika tunjangan operasional tidak dianggarkan tanpa landasan kajian teknokratis dan sosialisasi yang cukup, maka tindakan tersebut berpotensi bertentangan dengan prinsip dasar tata kelola keuangan publik.

Di sisi lain, data dari Laporan BKN (2024) menunjukkan bahwa tunjangan operasional di wilayah 3T seperti Pegaf mencakup 12–18% dari total pendapatan pejabat struktural golongan eselon 3 dan 4, yang sebagian besar digunakan untuk biaya transportasi, komunikasi, serta operasional lapangan di wilayah terpencil. Artinya, hilangnya tunjangan ini bukan sekadar masalah angka, melainkan meruntuhkan fondasi kerja ASN di medan pelayanannya yang sulit.
Politik Anggaran dan Warisan Kebijakan
Kebijakan publik, terutama yang sudah berlangsung secara konsisten lebih dari satu periode, harus dipahami sebagai hasil dari proses institusionalisasi. Menyikapi permintaan ASN untuk kejelasan, Bupati justru menyatakan bahwa tunjangan tersebut bukan urusannya, dan menyarankan untuk menanyakan kepada mantan Bupati. Ini merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab administratif.
Menurut Pasal 165 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, program dan kegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dan harus memperhatikan kelanjutan kegiatan tahun sebelumnya. Maka, tidak diakomodirnya komponen anggaran yang bersifat rutin dan strategis tanpa pembahasan terbuka di DPRD dapat dianggap cacat prosedur—ataukah ada kompromi jahat antara eksekutif dan legislatif dalam hal ini?.
Dalam ilmu kebijakan publik, kita mengenal konsep path dependency dari Paul Pierson. Kebijakan yang telah berjalan lama memiliki resistensi alami terhadap perubahan drastis karena sudah menyatu dengan struktur birokrasi dan perilaku aktor. Maka dari itu, bila terdapat perubahan kebijakan yang menyentuh kesejahteraan ASN harus disertai dengan naskah akademik, kajian dampak, dan proses konsultatif.