/

Ironi WTP Lima Kali dan Tunjangan yang Hilang

/
1096 dilihat
7 menit baca

OPINI, Pegaf.com — Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) kembali menjadi sorotan, bukan karena prestasi, melainkan karena polemik yang menyentuh sendi kesejahteraan aparatur sipil negara (ASN). Sejumlah pejabat eselon 3a, 3b, dan eselon 4 menyatakan kekecewaan mereka terhadap pernyataan Bupati Pegaf yang menyebutkan bahwa tunjangan operasional tahun 2025 tidak dianggarkan. Bahkan, dalam rekaman audio yang tersebar luas, Bupati menyarankan agar pejabat yang tidak puas menghubungi mantan Bupati. Sontak, pernyataan itu memantik gejolak di kalangan ASN, terutama dari distrik-distrik terpencil seperti Hingk.

Fenomena ini sangat kontras jika dibandingkan dengan keberhasilan Pemda Pegaf yang lima kali berturut-turut memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini WTP seharusnya mencerminkan tata kelola keuangan daerah yang akuntabel dan transparan. Namun, ketika hak keuangan dasar para pejabat justru terabaikan, publik berhak bertanya: Untuk siapa sebenarnya WTP itu diraih?

WTP: Antara Citra Administratif dan Realitas ASN

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, opini WTP diberikan kepada pemerintah daerah yang dianggap menyajikan laporan keuangan secara wajar dan sesuai standar akuntansi pemerintahan. Namun, penting dicatat bahwa WTP bukan ukuran kesejahteraan ASN atau keberhasilan pembangunan daerah secara menyeluruh.

Ilustrasi: Ironi WTP Lima Kali dan Tunjangan yang Hilang | Dok. Pegaf.com
Ilustrasi: Ironi WTP Lima Kali dan Tunjangan yang Hilang | Dok. Pegaf.com

Kritik terhadap pemaknaan WTP sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah akademisi dan praktisi anggaran, seperti yang pernah diungkap oleh pakar otonomi daerah Prof. Djohermansyah Djohan, menyebut WTP sering kali hanya menjadi “citra administratif” semata, tanpa menyentuh persoalan substansial di lapangan. Banyak daerah yang memperoleh WTP, namun di sisi lain masyarakatnya menderita akibat layanan publik yang buruk, atau ASN-nya kecewa karena hak mereka dipangkas secara sepihak.

Baca juga:  Pendidikan yang Membebaskan

Tunjangan Operasional: Hak atau Sekedar Beban Anggaran?

Tunjangan operasional bagi pejabat eselon bukan sekadar tambahan gaji, melainkan bagian dari sistem insentif yang melekat pada jabatan. Tunjangan ini dijamin oleh sejumlah regulasi, termasuk dalam Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menyatakan bahwa tunjangan bersifat melekat jika telah ditetapkan dan rutin dibayarkan melalui APBD.

Dalam kasus Pegaf, tunjangan ini sudah berjalan selama lebih dari satu dekade, yang berarti secara hukum dan administratif telah menjadi bagian dari kebiasaan anggaran yang sah. Tak dianggarkannya secara mendadak tanpa evaluasi publik atau dokumen resmi adalah tindakan yang tidak hanya tidak etis, tetapi berpotensi melanggar asas legitimate expectation dalam hukum administrasi negara—yakni harapan yang sah dari ASN bahwa hak-haknya akan terus dilindungi negara.

Dilema Kepemimpinan Baru: Ganti Bupati, Ganti Kebijakan?

Pernyataan Bupati Pegaf yang melempar tanggung jawab kepada pemimpin sebelumnya patut dipertanyakan. Dalam sistem pemerintahan daerah, kontinuitas anggaran dan kebijakan bukanlah persoalan individual, melainkan urusan kelembagaan. Bupati, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif daerah, memiliki tanggung jawab untuk melindungi stabilitas kebijakan, bukan mencabutnya secara sewenang-wenang.

Dalam teori good governance, seperti yang dikembangkan oleh UNDP, terdapat prinsip akuntabilitas dan responsivitas sebagai pilar utama pemerintahan yang sehat. Ketika seorang pemimpin menghindar dari tanggung jawab anggaran dengan menyalahkan kepemimpinan sebelumnya, maka ia telah gagal menerapkan prinsip tersebut.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!