EDITORIAL, Pegaf.com — Transportasi publik merupakan salah satu tulang punggung utama dalam pergerakan masyarakat kota. Di kota Manokwari, Papua Barat, kondisi ini sudah lama mengalami mati suri. Tidak tersedia lagi layanan transportasi publik yang terorganisir dan layak, padahal fungsi dasarnya adalah menjembatani mobilitas masyarakat lintas kelas sosial—dari pelajar, buruh harian, petani, pedagang, hingga pegawai negeri.

Dampaknya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak warga kini harus mengandalkan jasa ojek pangkalan atau layanan berbasis aplikasi seperti Maxim. Beberapa bahkan harus menumpang kendaraan pribadi atau truk, terutama para pelajar di wilayah seperti Sowi, Arfai, Andai, hingga Asai. Ini bukan hanya tidak aman, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistemik dalam penyediaan hak dasar warga kota: akses mobilitas yang layak, terjangkau, dan aman.
Kepadatan Jalan dan Ketergantungan pada Kendaraan Pribadi
Ketika transportasi publik tak lagi tersedia, masyarakat tentu mencari solusi sendiri. Alhasil, penggunaan kendaraan pribadi meningkat tajam. Setiap pagi dan sore, kepadatan arus lalu lintas di titik-titik seperti Jalan Yos Sudarso, Trikora, Sowi, Maripi, hingga Andai menjadi pemandangan sehari-hari. Sepeda motor, mobil pribadi, dan kendaraan non-plat kuning kini mendominasi jalanan Manokwari.
Kondisi ini memperparah beban jalan kota, yang sebenarnya belum dirancang untuk menampung volume kendaraan sebanyak itu. Tidak hanya menyebabkan macet, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas dan emisi karbon yang mengancam kualitas udara kota. Data Dinas Perhubungan Papua Barat tahun 2023 mencatat bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor meningkat sekitar 15% setiap tahun, sementara penyediaan layanan publik jalan raya stagnan bahkan cenderung menurun.
Ketimpangan Akses: Anak Sekolah dan Masyarakat Pinggiran
Ketiadaan transportasi publik paling dirasakan oleh kelompok rentan, terutama anak-anak sekolah dan warga pinggiran. Di Distrik Prafi dan sekitarnya, misalnya, warga kerap mengeluh sulitnya akses menuju pusat kota. Anak-anak sekolah dari kampung-kampung sekitar SP 4, SP 6 hingga Warmare sering terlambat atau bahkan absen karena tidak ada kendaraan yang bisa mereka andalkan. Mereka terpaksa menumpang kendaraan tetangga, truk, kendaraan dinas pemerintah, atau bahkan berjalan kaki cukup jauh ke titik jalan raya utama.
Ini menandakan bahwa tanpa sistem transportasi publik, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, bahkan pekerjaan menjadi terbatas. Mobilitas menjadi hak istimewa mereka yang punya kendaraan, sementara yang lainnya ditinggalkan di pinggir jalan.
Terminal yang Mati, Tata Kelola yang Gagal
Masalah besar lainnya adalah tidak berfungsinya terminal angkutan umum di Manokwari. Terminal Wosi dan Sanggeng yang dahulu menjadi titik utama aktivitas mobilitas dalam kota dan antar distrik, kini tak terurus. Tak ada manajemen trayek yang jelas, tak ada penertiban kendaraan umum, dan tak ada insentif bagi operator angkutan untuk kembali beroperasi secara teratur. Tata kelola transportasi yang seharusnya menjadi tugas utama pemerintah daerah justru mengalami stagnasi.

Padahal, menurut teori tata kelola publik yang diutarakan oleh Osborne (2006), layanan publik harus memenuhi tiga prinsip: aksesibilitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Ketika pemerintah gagal menyediakan transportasi publik, maka ketiga prinsip tersebut secara nyata dilanggar. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Perhubungan , seolah abai terhadap kondisi ini.
Ketergantungan pada Ojek dan Maxim: Solusi Sementara yang Tidak Inklusif
Munculnya ojek online seperti Maxim memang membantu menyambung mobilitas warga. Namun, kehadiran mereka bukanlah solusi jangka panjang. Pertama, tidak semua warga memiliki ponsel pintar untuk mengakses aplikasi ini. Kedua, tarif ojek daring yang fluktuatif membuatnya tidak selalu terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah. Ketiga, jangkauan layanan mereka masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu yang ramai, sementara wilayah terpencil atau kampung-kampung di Warmare, Prafi, atau Sidey jarang mendapat akses.
Dengan kata lain, transportasi berbasis aplikasi tetap bersifat eksklusif dan hanya menjangkau sebagian kelompok masyarakat. Ini berbanding terbalik dengan filosofi transportasi publik yang inklusif dan pro-rakyat.
Mengapa Transportasi Publik Penting?
Transportasi publik tidak hanya menjadi penopang aktivitas harian, tetapi juga memainkan peran penting dalam pemerataan pembangunan. Menurut teori perencanaan kota oleh Kevin Lynch (1960), transportasi adalah elemen penting dalam membangun keterhubungan antar ruang kota. Tanpa sistem transportasi yang efektif, pembangunan akan timpang, dan masyarakat yang tinggal jauh dari pusat ekonomi akan semakin termarjinalkan.
Transportasi publik juga memiliki nilai strategis dalam menekan polusi udara, mengurangi ketimpangan sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Di berbagai kota besar seperti Surabaya dan Makassar, revitalisasi transportasi publik terbukti mampu meningkatkan partisipasi ekonomi masyarakat dan menurunkan beban kendaraan pribadi.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Manokwari dan Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi transportasi publik. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:
- Revitalisasi Terminal dan Trayek: Mengoptimalkan kembali terminal Wosi dan Sanggeng serta mengatur ulang trayek angkutan kota dengan dukungan insentif bagi para operator.
- Subsidi Transportasi Publik: Memberikan subsidi khusus bagi moda transportasi umum agar dapat menurunkan tarif dan menjangkau daerah-daerah pinggiran.
- Kemitraan Swasta-Publik: Menggandeng sektor swasta untuk pengadaan armada baru, baik berupa bus kecil, angkutan kota, maupun kendaraan ramah lingkungan.
- Manajemen Lalu Lintas Terpadu: Menyusun rencana jangka panjang penataan lalu lintas berbasis data dan teknologi, termasuk penggunaan sistem transportasi cerdas (ITS).
- Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Kampanye penggunaan transportasi publik secara massif perlu dilakukan agar masyarakat tidak lagi semata-mata mengandalkan kendaraan pribadi.
Penutup: Ketika Pemerintah Diam, Masyarakat Menanggung Beban
Ketiadaan transportasi publik di Manokwari bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi juga bentuk abai terhadap tanggung jawab sosial. Ketika negara tidak hadir di jalan-jalan kota, maka rakyatlah yang harus mencari jalan sendiri, meski penuh risiko dan ketidakpastian.
Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memperlebar jurang ketimpangan, memperburuk kondisi lingkungan, dan menghambat produktivitas masyarakat. Maka, solusi tidak cukup hanya mengandalkan Maxim atau ojek pangkalan, melainkan harus ada intervensi kebijakan nyata yang menjadikan transportasi publik sebagai pilar utama pembangunan kota. Sebab kota yang sehat, adalah kota yang mampu mengantar warganya dari rumah ke sekolah, dari desa ke pasar, dan dari pinggiran ke pusat—tanpa diskriminasi. *)
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Dilina