/

Kolam Sapardi: Hening yang Tak Pernah Selesai Ditegaskan Kata

/
424 dilihat
5 menit baca

Tentang Air, Tentang Waktu, Tentang Yang Pergi

Banyak puisi dalam Kolam membicarakan air: kolam, hujan, kabut, embun. Tapi air yang dimaksud Sapardi bukanlah objek fisik. Air di sini adalah perasaan yang mengalir, melarut, menggenang, dan kadang tergenang di dada.

Sapardi menulis seperti orang yang sudah berdamai dengan kehilangan.
Ia tidak lagi bertanya “mengapa”.
Ia hanya ingin menemani.
Dan kadang, hanya ingin duduk bersama—
tanpa perlu bicara apa-apa.

Puisinya pendek, kadang satu halaman hanya berisi dua baris. Tapi dua baris itu mampu mengguncang ingatan pembaca yang paling sunyi.
Seperti:

Waktu berjalan. Aku tidak.
Kolam itu, kenangan yang tidak mau mati.

Dan tiba-tiba kita terdiam. Karena yang ditulisnya mungkin bukan tentang dirinya. Tapi tentang kita. Tentang ayah yang pergi. Tentang seseorang yang tak sempat kita ajak bicara lebih lama. Tentang suara yang hanya tinggal gema.

Sapardi: Bukan Menulis, Tapi Mengingat

Banyak penyair menulis untuk menyampaikan pesan. Tapi Sapardi tidak. Ia menulis bukan untuk menyampaikan. Ia menulis untuk mengingat. Dan kadang, untuk melupakan.

Baca puisi-puisi dalam Kolam, dan kau akan merasa seperti sedang duduk di pinggir danau yang tidak pernah benar-benar membeku. Airnya tenang, tapi di bawah permukaan, ada hal-hal yang bergerak. Tak tampak, tapi ada. Tak keras, tapi jelas.

Inilah keindahan Kolam:
Ia tidak mendikte.
Ia tidak menjelaskan.
Ia hanya menyodorkan rasa, dan mengajak kita duduk bersamanya.

Baca juga:  Milk and Honey — Puisi-Puisi yang Menyembuhkan

Untuk Siapa Buku Ini?

Untuk kamu yang pernah kehilangan sesuatu, tapi tak tahu bagaimana mengatakannya.

Untuk kamu yang pernah jatuh cinta, tapi tak sempat bicara.

Untuk kamu yang pernah duduk diam di ujung hari, dan merasa ada yang kosong, tapi tidak tahu apa.

Buku ini bukan untuk dikaji dengan teori.
Bukan untuk dikritik pakai pisau analisis.
Buku ini untuk dirasakan.
Untuk dibaca pelan-pelan—dan mungkin, disimpan lama-lama.

Keheningan yang Tak Pernah Selesai

Kolam bukan buku yang akan dibicarakan orang di kafe.
Ia bukan bacaan populer yang akan viral di media sosial.
Tapi ia akan tinggal lama dalam ingatan pembacanya.
Diam-diam. Tanpa gaduh.
Seperti Sapardi itu sendiri.

Dan ketika kau menutup halaman terakhirnya,
kau mungkin tidak akan menangis,
tapi akan diam beberapa detik lebih lama dari biasanya.

Karena Sapardi,
bahkan dalam kepergiannya,
masih mengajari kita
cara menjadi tenang,
dan tulus—
dalam kehilangan. *)

Penulis: Elany

*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Penulis yang tertarik di bidang humanisme dan sastra. Suka mancing, membaca, dan bikin puisi.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!