/

Makanan Bergizi Gratis yang Bikin Sakit

Saatnya Evaluasi Serius Program Nasional

/
1559 dilihat
8 menit baca

EDITORIAL, Pegaf.com — Sebanyak 12 anak dari SMP Negeri 13 Manokwari dan SD Negeri 45 Arowi dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengkonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) pada Rabu, 30 Juli 2025. Empat anak harus dilarikan ke RSUD Manokwari, dan sisanya dirawat di Puskesmas Pasir Putih. Gejalanya mulai dari mual, pusing, sesak napas hingga muntah.

Insiden ini membuka kembali diskusi publik tentang urgensi, efektivitas, dan pengawasan dalam pelaksanaan program MBG yang diluncurkan pemerintah pusat. Banyak masyarakat Papua, terutama di wilayah Manokwari dan Pegunungan Arfak, mulai menyuarakan keraguan bahkan penolakan terhadap program tersebut. Sebagian warga mengusulkan agar anggaran MBG dialihkan untuk subsidi pendidikan berupa buku gratis, pakaian sekolah, atau transportasi siswa.

Ilustrasi: Makanan Bergizi Gratis yang Bikin Sakit | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi: Makanan Bergizi Gratis yang Bikin Sakit | Dok. Pegaf.com / Gavier

Kritik ini bukan tanpa dasar. Di tengah infrastruktur distribusi yang belum memadai, pengawasan lemah, dan perbedaan kebutuhan lokal, program nasional seperti MBG justru berisiko memperburuk keadaan jika tidak dikelola dengan sensitif dan akuntabel.

Antara Gizi dan Risiko: Gagalnya Implementasi di Daerah

Secara normatif, program MBG bertujuan baik. Anak-anak sekolah dari keluarga kurang mampu atau rentan mendapatkan makanan bergizi agar dapat belajar dengan fokus dan sehat. Namun, seperti ditunjukkan oleh kasus di Manokwari, pelaksanaan yang terburu-buru dan tidak sesuai konteks lokal justru bisa membahayakan nyawa anak-anak.

Menurut teori kebijakan bottom-up dari Richard Elmore (1980), implementasi kebijakan publik akan efektif bila mempertimbangkan kapasitas dan realitas pelaku lokal. Dalam konteks Papua, kebijakan makanan bergizi gratis tidak mempertimbangkan aspek kultural, logistik distribusi, dan kapasitas pengawasan mutu makanan oleh sekolah maupun Dinas Pendidikan dan Kesehatan.

Baca juga:  Hilangnya Tunjangan ASN dan Krisis Kepemimpinan Pegaf

Distribusi makanan, tanpa rantai dingin yang optimal, membuat makanan berisiko basi atau terkontaminasi. Belum lagi masalah kontraktor penyedia makanan yang tidak melalui seleksi ketat dan sering kali tidak memiliki sertifikasi kelayakan pangan dari BPOM atau Dinas Kesehatan.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!