/

Makanan Bergizi Gratis yang Bikin Sakit

Saatnya Evaluasi Serius Program Nasional

/
1564 dilihat
8 menit baca

Solusi Alternatif: Penguatan Dukungan Pendidikan yang Relevan

Saat ini, saatnya pemerintah merevisi pendekatan satu arah dalam kebijakan pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan pendekatan participatory development (Robert Chambers, 1994), program seharusnya disusun berdasarkan masukan komunitas lokal, bukan dipaksakan dari atas.

Berikut ini alternatif-alternatif kebijakan yang lebih sesuai konteks Papua:

  • Subsidi buku pelajaran dan seragam gratis bagi anak-anak. Misalnya, seperti Manokwari dan Pegunungan Arfak sangat penting untuk meningkatkan akses pendidikan, implementasinya dapat dilakukan melalui kerja sama Dinas Pendidikan, pemerintah kampung, dan sekolah. Bantuan disalurkan langsung ke sekolah-sekolah, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau. Di Pegunungan Arfak, akses distribusi menjadi tantangan utama, sehingga perlu dukungan logistik dan pendampingan dari pihak gereja, LSM lokal, serta tokoh adat setempat.
  • Transportasi sekolah gratis di daerah dengan akses berat. Transportasi sekolah gratis di Manokwari dan Pegunungan Arfak dapat diterapkan dengan menyediakan bus atau mobil sekolah 4WD untuk menjangkau daerah berbukit dan sulit akses. Pemerintah daerah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, gereja, dan komunitas lokal untuk menyusun rute tetap.
  • Pemeriksaan gizi anak secara periodik oleh Puskesmas, bukan lewat makanan sekali makan yang belum tentu aman. Penerapan pemeriksaan gizi anak secara periodik di Manokwari dan Pegunungan Arfak dilakukan oleh Puskesmas melalui kunjungan langsung ke sekolah dan posyandu kampung. Petugas kesehatan memantau berat badan, tinggi badan, serta status anemia dan stunting anak. Data dicatat berkala setiap bulan. Dibanding makanan sekali saji yang rawan kontaminasi, pendekatan ini lebih aman. Edukasi gizi juga diberikan kepada guru dan orang tua. Dukungan logistik dan tenaga medis keliling sangat dibutuhkan di wilayah pegunungan yang sulit dijangkau.
Baca juga:  Pendidikan yang Membebaskan

Alternatif ini lebih berkelanjutan, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengurangi risiko kesehatan.

Menghindari Kebijakan Simbolik dan Populis

Program MBG berpotensi menjadi kebijakan simbolik dan populis—terlihat bagus di permukaan tetapi rapuh dalam implementasi. Dalam teori kebijakan publik, kebijakan populis sering gagal karena mengabaikan kapasitas sistem dan ketahanan jangka panjang. Akibatnya, anak-anak Papua menjadi korban dari pencitraan kebijakan yang tidak disusun berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.

Pemerintah daerah perlu lebih tegas menyuarakan penyesuaian program nasional agar sesuai dengan kondisi di tanah Papua. Jangan sampai, hanya karena ingin “terlihat berhasil” di laporan pusat, pemerintah lokal rela membiarkan anak-anaknya menjadi korban.

Evaluasi Bukan Sekadar Retorika

Insiden keracunan di Manokwari harus menjadi momentum evaluasi total terhadap program Makanan Bergizi Gratis. Pemerintah harus menyadari bahwa memberikan makanan kepada anak-anak tidak sesederhana mendistribusikan nasi kotak. Harus ada pengawasan mutu, pelibatan komunitas, dan yang paling penting: pemahaman akan kebutuhan lokal.

Jika masyarakat Papua lebih memilih buku gratis ketimbang makanan gratis yang berisiko, suara mereka harus didengar. Tidak semua daerah cocok dengan kebijakan seragam. Indonesia terlalu besar dan beragam untuk diperlakukan dengan satu pendekatan yang sama.

Karena pada akhirnya, program pemerintah bukan sekadar soal niat baik, tetapi soal hasil nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat, terutama anak-anak yang mestinya dilindungi—bukan dijadikan objek eksperimen kebijakan. *)

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Dilina

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!