Yesus dan Politik Non-Kekerasan
Buku ini juga menekankan bahwa politik Yesus dibangun di atas non-kekerasan. Namun, non-kekerasan yang dimaksud bukanlah pasif, melainkan aktif, strategis, dan konfrontatif. Lugo mengutip peristiwa Yesus mengusir para pedagang dari Bait Allah sebagai contoh bahwa Yesus menolak struktur ekonomi yang menindas umat miskin, sekaligus menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari strategi politik yang sadar dan terencana.
Lugo menunjukkan bahwa non-kekerasan Yesus adalah bentuk perlawanan yang mengungkap ketidakadilan tanpa meniru kekerasan penindas. Dalam kerangka ini, cinta kasih bukanlah perasaan sentimental, melainkan keputusan politik untuk berdiri di pihak korban.
Kritik terhadap Gereja dan Kekuasaan
Salah satu bagian paling tajam adalah kritik Lugo terhadap gereja modern yang kerap mengabaikan dimensi politik dari iman. Menurutnya, gereja sering memilih netral demi kenyamanan politik atau bahkan ikut menjadi bagian dari struktur penindasan dengan membungkam suara kenabian. Dalam nada yang hampir seperti teguran, ia menulis bahwa gereja yang memisahkan Injil dari keadilan sosial sejatinya mengkhianati pesan Yesus.
Ia menyinggung fenomena di mana khotbah lebih banyak membicarakan moralitas privat, tetapi bungkam soal korupsi, eksploitasi buruh, atau perusakan lingkungan. Bagi Lugo, inilah bentuk depolitisasi Yesus yang paling merugikan umat dan masyarakat luas.
Relevansi untuk Konteks Indonesia
Lugo tidak menulis dari ruang hampa; ia membawa pembacanya melihat bagaimana manifesto politik Yesus dapat menjadi inspirasi gerakan sosial di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ketika bicara soal keberpihakan pada orang miskin, ia menyinggung konteks buruh upah rendah, petani yang tergusur demi proyek infrastruktur, dan masyarakat adat yang tanahnya diambil alih untuk investasi besar.
Dengan membandingkan kondisi sosial-politik masa kini dan zaman Yesus, Lugo menunjukkan bahwa pesan keadilan Yesus bersifat lintas zaman. Ia juga mengajak gereja-gereja di Indonesia untuk tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga pusat advokasi dan pemberdayaan masyarakat.