JAKARTA, Pegaf.com — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana mengunjungi Jawa Timur, pusat industri rokok, guna memantau langsung kondisi lapangan.
Ia menekankan pentingnya mendengar keluhan pengusaha lokal serta pekerja, sebab industri ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Karena itu, langkah kunjungan disebut strategis sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap sektor padat karya tersebut.

Kebijakan Tarif Cukai Jadi Perhatian Utama
Purbaya mengaku terkejut ketika mengetahui rata-rata tarif cukai rokok mencapai 57 persen, jauh di atas perkiraan awalnya.
Menurutnya, angka itu terlalu tinggi dan dianggap kebijakan aneh, meskipun tujuan utamanya menekan jumlah perokok nasional.
Ia bahkan berkelakar, “Wah, tinggi amat. Firaun lu!” dalam briefing media di Jakarta.
Namun, ia belum membeberkan rencana terkait perubahan tarif tersebut.
Tantangan Peredaran Rokok Ilegal dari China
Selain tarif, Purbaya menyoroti maraknya peredaran rokok ilegal impor dari China yang menekan kinerja produsen lokal di dalam negeri.
Ia menegaskan peredaran rokok palsu atau ilegal bukan hanya mengurangi pendapatan negara, tetapi juga mematikan industri sah.
Karena itu, ia berkomitmen melakukan penindakan tegas dan berlapis guna menjaga keberlangsungan pasar rokok dalam negeri.
Janji Perlindungan Industri Rokok Nasional
Purbaya menyebut kontribusi industri rokok terhadap penerimaan negara sangat signifikan, mencapai triliunan rupiah melalui pembayaran cukai setiap tahunnya.
Dengan kontribusi besar tersebut, ia menilai sudah sepatutnya pemerintah turun tangan melindungi sektor ini dari serangan produk ilegal.
“Pasar mereka saya lindungi… hati-hati yang palsu-palsu, akan kita mulai kejar satu-satu!” tegasnya kepada media.
Menimbang Arah Kebijakan Cukai ke Depan
Walaupun belum memberikan gambaran detail, Purbaya menyiratkan evaluasi atas kebijakan cukai yang berlaku perlu dilakukan lebih hati-hati dan seimbang.
Di satu sisi, pemerintah ingin menekan konsumsi rokok, sementara di sisi lain harus menjaga keberlangsungan tenaga kerja dan industri.
Keseimbangan tersebut dinilai menjadi kunci agar kebijakan tidak menimbulkan dampak kontraproduktif bagi ekonomi nasional. *)
Reporter: Juan
Editor: Dilina