EDITORIAL, Pegaf.com — Dalam sidang paripurna DPRK Manokwari pada Jumat, 25 Juli 2025, Pemerintah Kabupaten Manokwari melalui Plh Sekda Immanuel Pangaribuan menyampaikan jawaban Bupati atas pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap Ranperda tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Minol). Poin utama dari jawaban itu adalah komitmen untuk mengikuti prosedur perizinan sesuai ketentuan perundang-undangan serta penetapan zona larangan penjualan minol sejauh 500 meter dari tempat pendidikan dan rumah ibadah.
Namun, pendekatan formalistik semacam ini justru menunjukkan kegagalan memahami kompleksitas persoalan miras di Tanah Papua—termasuk Manokwari yang dikenal sebagai “Kota Injil”, simbol kekudusan dan moralitas publik. Regulasi zonasi 500 meter seolah-olah menjadi solusi, padahal dalam praktiknya nyaris tak membawa pengaruh signifikan terhadap pola konsumsi minuman beralkohol di tengah masyarakat.
Ilusi Regulasi dan Realitas Lapangan
Sejak awal, pendekatan “zona larangan” sepanjang 500 meter dari fasilitas pendidikan dan rumah ibadah memang terdengar wajar dan normatif. Tetapi pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa sistem zonasi tidak efektif tanpa pengawasan ketat dan partisipasi masyarakat. Di Manokwari, tempat ibadah dan sekolah tersebar hampir di setiap kampung dan kelurahan. Maka, dalam praktiknya, penentuan radius itu sering kali menjadi sekadar formalitas dalam dokumen perizinan tanpa kontrol ketat di lapangan.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Papua Barat, lebih dari 60% tindakan kriminal yang terjadi di kawasan Manokwari Raya terkait langsung dengan konsumsi alkohol, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan, pembunuhan, hingga begal. Bahkan laporan Komnas Perlindungan Anak mencatat bahwa di Papua, banyak anak di bawah umur terlibat dalam konsumsi alkohol, terutama miras lokal yang beredar luas tanpa izin.
Ironisnya, Ranperda yang diajukan pemerintah tetap membuka ruang untuk legalisasi penjualan minol dengan alasan prosedural dan ekonomi. Pemerintah berdalih bahwa regulasi akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, jika ditelaah lebih jauh, pendapatan dari penjualan miras justru tidak sebanding dengan biaya sosial dan kesehatan yang ditanggung masyarakat.