Legalisasi Tak Sejalan dengan Realitas Sosial
Masyarakat Papua, secara kultural dan sosial, memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak destruktif alkohol. Banyak generasi muda yang kehilangan arah, putus sekolah, dan terlibat dalam kekerasan akibat pengaruh miras. Legalisasi, meskipun dibungkus dengan aturan administratif, tetap berisiko membuka ruang bagi akses yang lebih luas.
Dari sisi teori, pendekatan yang diambil oleh Pemkab Manokwari bersifat “regulatif-liberal”, yang menurut David Garland (2001) dalam teorinya tentang “governing through crime”, hanya akan memperluas ruang kontrol tanpa menyelesaikan akar masalah. Garland mengkritik sistem hukum yang hanya berfokus pada regulasi administratif sambil mengabaikan intervensi sosial dan kultural yang substansial. Dalam konteks Papua, pendekatan ini terbukti tidak efektif karena gagal melibatkan masyarakat adat, gereja, dan pemuda sebagai garda terdepan dalam pengendalian sosial.
Bahaya Kultural dan Generasi Masa Depan
Masalah miras di Papua bukan sekadar soal ekonomi atau hukum, tetapi menyentuh akar peradaban. Dalam masyarakat adat, kesadaran kolektif terhadap kehidupan sehat dan berimbang adalah nilai utama. Namun nilai itu tergerus oleh arus konsumsi dan modernisasi yang tidak dikontrol. Miras hadir bukan sebagai bagian dari budaya lokal, melainkan sebagai simbol kolonialisasi gaya hidup yang merusak tatanan sosial.
Dalam konteks inilah, fraksi DPR Otsus Manokwari sebelumnya telah secara tegas menyatakan penolakan terhadap peredaran miras. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tingkat kematian akibat miras di Papua hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Artinya, kita menghadapi situasi darurat moral dan kesehatan publik.
Antara Ekonomi dan Moralitas Publik
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa miras menjadi sumber pemasukan bagi sebagian pedagang lokal dan bahkan pemerintah daerah. Namun, jika ditimbang secara komprehensif, pendapatan dari pajak dan retribusi penjualan minol akan kalah jauh dibanding kerugian akibat kecelakaan lalu lintas, produktivitas kerja yang menurun, hingga biaya kesehatan akibat gangguan mental dan organ tubuh karena konsumsi miras.
Sebuah studi dari WHO tahun 2022 mencatat bahwa setiap 1 dolar yang diperoleh dari pajak alkohol, negara akan kehilangan 3 dolar untuk membiayai dampak kesehatannya. Ini belum termasuk beban sosial yang tidak terhitung, seperti trauma anak-anak korban KDRT atau korban kekerasan seksual yang dilakukan dalam pengaruh alkohol.