Ullong, Pegunungan Arfak – Di tengah euforia penyerahan Surat Keputusan (SK) kepada ratusan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) formasi 2024, Senin (30/6/2025), tersimpan sebuah ironi yang mengakar: rapuhnya fondasi fiskal Kabupaten Pegunungan Arfak. Acara yang berlangsung di Halaman Kantor Bupati ini memang berjalan kondusif, namun ketenangan itu semu, dibayangi oleh ketergantungan akut pada dana transfer dari pemerintah pusat.

Rencana aksi demonstrasi ASN yang menuntut hak gaji ke-13 dan tunjangan memang berhasil diredam sehari sebelumnya. Bupati Dominggus, melalui rekaman suara di grup WhatsApp, kembali mengeluarkan jurus andalan: meminta kesabaran ASN sambil menunjuk “dana otonomi khusus, terlambatnya transferan anggaran dari pusat, dan dana lainnya” sebagai biang keladi.
Penjelasan ini, meskipun berhasil membatalkan aksi, sejatinya menyingkap borok yang lebih dalam. Keterlambatan pembayaran hak pegawai bukanlah insiden tunggal, melainkan gejala dari sebuah penyakit kronis, yakni ketidakmandirian fiskal daerah. Pengakuan Bupati bahwa “Kab Pegaf belum memiliki PAD” menjadi alarm keras bahwa roda pemerintahan dan nasib ribuan abdi negaranya sepenuhnya bergantung pada “kemurahan hati” Jakarta.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan. Di satu sisi, pemerintah daerah terus menambah jumlah ASN—seperti yang terlihat dari penyerahan SK kemarin—yang berimplikasi pada membengkaknya belanja pegawai. Di sisi lain, tidak ada upaya terobosan yang signifikan untuk menggali dan mengelola potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pegunungan Arfak, dengan kekayaan alamnya, seolah pasrah menjadi penadah dana transfer tanpa inisiatif membangun kemandirian ekonomi.
Seorang pengamat kebijakan publik yang dihubungi secara terpisah menyatakan, “Ini adalah bom waktu. Mengandalkan 100% dana transfer membuat daerah sangat rentan terhadap gejolak kebijakan di tingkat pusat, penundaan birokrasi, atau bahkan sanksi fiskal. Gaji ASN yang tertunda hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar, yaitu terhambatnya pembangunan dan pelayanan publik.”

Penyerahan SK kepada para abdi negara baru seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat mesin birokrasi yang melayani masyarakat. Namun, tanpa kemandirian fiskal, penambahan pegawai ini justru berisiko menambah beban tanggungan daerah. Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak harus segera beralih dari sekadar menanti dana transfer menjadi proaktif menciptakan sumber-sumber pendapatan baru.
Jika tidak, seremoni seperti penyerahan SK ini hanya akan menjadi seremoni ironis: merayakan penambahan “awak kapal” pada sebuah kapal yang layarnya sepenuhnya bergantung pada hembusan angin dari pusat, tanpa pernah berusaha menyalakan mesinnya sendiri. Nasib para ASN dan masa depan pelayanan publik di Pegunungan Arfak akan terus berada di ujung tanduk, menanti kabar dari Jakarta, bukan dari hasil kerja keras membangun daerahnya sendiri. *)
Reporter: Elany
Editor: Dilina
Ilustrator: Gavier