Negeri yang Menyembah Ketakutan
di negeri ini
orang paling ditakuti
bukan Tuhan, bukan maut,
tapi pejabat yang tersinggung.
kata paling mahal
bukan “cinta” atau “keadilan”,
tapi “maafkan saya, pak”
yang dibisikkan pada perut kekuasaan.
di negeri ini
kebenaran tinggal di pengasingan
dan kritik dituduh makar
dengan mata dicat bendera
dan lidah disumpal amplop.
mereka berkata:
“jangan bicara sembarangan!”
sebab kuping mereka
hanya terbuka untuk pujian.
—
Rakyat Adalah Hantu yang Antri Bantuan
aku pernah melihat rakyat
di balik layar kaca
mereka antri: bukan karena lapar
tapi karena tidak punya pilihan.
mereka memuji pemimpin
yang mencuri uang mereka
karena telah diajari:
penguasa adalah Tuhan yang bisa marah
jika tidak disembah.
aku pernah melihat rakyat
diundang dalam pesta demokrasi
hanya untuk mencoblos
lalu dilupakan seperti janji kampanye.
aku ingin bertanya,
tapi suaraku dicurigai
sebagai propaganda musuh
yang tak tahu terima kasih.
—
Pidato yang Menyembunyikan Luka
setiap pidato mereka
adalah puisi yang menghindari luka
mereka menyebut rakyat
tanpa pernah mengingat wajahnya.
dalam suara yang nyaring
mereka merayakan pertumbuhan ekonomi
sementara anak-anak di pedalaman
masih berjalan kaki ke sekolah
dengan perut kosong dan sandal putus.
mereka berbicara tentang pembangunan
tapi membangun tembok di telinga
dan menutup mata terhadap jembatan patah
di pelosok negeri
yang hanya muncul saat musim kampanye.
—
Negara adalah Kursi yang Tak Pernah Diduduki Keadilan
mereka duduk di kursi
yang dibangun dari tulang rakyat
dan cat emas dari dana bantuan bencana.
ketika kita mengetuk pintu mereka
yang terbuka hanya satpam
dan janji kosong yang dibungkus baliho.
negara adalah panggung
dan pemimpin adalah aktor
yang belajar menangis di depan kamera
dan tertawa di belakang meja makan mewah.
keadilan?
ia seperti tamu yang diundang
tapi tidak pernah disiapkan kursi.
—
Doa yang Tak Sampai ke Istana
Tuhan, jika Engkau mendengar
suara-suara kecil di kolong jembatan,
ajarkan mereka bahasa
yang tak perlu izin dari sensor negara.
Tuhan, jika Engkau melihat
betapa lancarnya arus suap
lebih deras dari sungai yang kau turunkan,
izinkan kami marah
tanpa harus dicap pengkhianat.
kami telah belajar berdoa
bukan agar pemimpin berubah,
tapi agar hati kami
tidak ikut mati karena keputusasaan.
Tuhan, jika surga itu benar ada,
ampunilah kami — rakyat yang
telah lama mengira
bahwa diam adalah satu-satunya keselamatan.
*
Hungku, Awal Agustus 2025 *)
Penyair: Elany
*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Penulis yang tertarik di bidang humaniora dan sastra. suka mancing, membaca, dan bikin puisi.