Ilustrasi Nubuat Tete Semuel: Mana Kepala, Mana Kaki | Dok. Yuleks Ahoren
Ilustrasi Nubuat Tete Semuel: Mana Kepala, Mana Kaki | Dok. Yuleks Ahoren
/

Nubuat Tete Semuel: Mana Kepala, Mana Kaki

Listrik adalah Tanda Kemajuan dan Keadilan

/
1106 dilihat
3 menit baca
Ilustrasi Nubuat Tete Semuel: Mana Kepala, Mana Kaki | Dok. Yuleks Ahoren
Ilustrasi Nubuat Tete Semuel: Mana Kepala, Mana Kaki | Dok. Yuleks Ahoren

Dulu, waktu Bapak Dominggus Mandacan masih menjabat sebagai Bupati Manokwari, beliau sempat datang meresmikan jalan baru di Sururey. Seusai acara pemotongan pita, dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Tete Semuel Ahoren berdiri di tengah jalan, tepat di depan rumahnya, lalu memalang jalan dengan tenang.

Dengan suara parau tapi penuh wibawa, ia berkata:

“Bapa Dominggus, jalan memang sudah masuk, itu benar. Tapi nubuatan saya ini: yang belum masuk itu listrik!”

Semua orang yang hadir waktu itu langsung tertawa dan bertepuk tangan. Tapi Tete belum selesai bicara.

“Karena begini,” lanjutnya, “kita di rumah tidur itu terpisah kamar. Jadi, tiap malam kalau saya mau cari Mace di sebelah, pasti harus raba-raba dulu dalam gelap. Mana kepala, mana kaki?”

Tawa pun meledak. Orang-orang tertawa terbahak, bahkan ada yang sampai pegang perut. Tapi Tete tetap tersenyum serius.

“Cahaya tidak ada. Lampu tiada. Jadi semua bagian tubuh sama rata hitam gelap, seperti noken baru dijemur.”

Waktu itu, banyak yang menganggap ucapan Tete hanya lelucon. Tapi sekarang, belasan tahun berlalu. Pemerintahan Kabupaten Pegaf sudah definitif selama satu dekade. Jalan-jalan sudah bagus, bahkan bisa dipakai jogging pagi. Tapi listrik?

Masih jadi legenda.

Kampung sebelah sudah nonton sinetron dan main TikTok malam-malam. Sementara Kobrey dan sebagian kampung lainnya? Masih pakai pelita dan genset pribadi. Itu pun dengan BBM beli sendiri, hanya untuk cas HP dan kebutuhan mendesak lainnya.

Baca juga:  Sepi di Pasar Irai

Sampai akhirnya, cucu Tete Semuel—si Mougb Kobrey—berkomentar sambil tertawa:

“Berarti nubuatan Tete benar. Kita tunggu sampai listrik menyala, baru kita bisa tahu itu kepala atau kaki!”

Sejak itu, setiap ada tamu datang malam hari, warga Kobrey suka bercanda:

“Hati-hati kalau tidur. Jangan sampai kepala kamu dikira bantal… karena lampu belum masuk!” *)

Catatan: Nubuatan dalam cerita ini mungkin terdengar lucu, tetapi menyimpan kebenaran. Hal-hal yang tampak sepele, seperti listrik, sebenarnya merupakan tanda kemajuan dan keadilan. Kampung Kobrey mewakili banyak kampung lain di Pegunungan Arfak yang masih menunggu terang—bukan hanya terang di malam hari, tetapi juga terang berupa perhatian dari para pemimpin.

Penulis: Yuleks Ahoren

Ilustrator: Yuleks Ahoren

*) Yuleks Ahoren, lahir di Kopo pada 17 Oktober 1995. Ia memiliki ketertarikan besar terhadap dunia literasi dan menjadikan membaca sebagai hobi utama yang membentuk wawasan dan sudut pandangnya. Melalui aktivitas membaca, Yuleks terus mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas dalam menulis. Ia percaya bahwa tulisan adalah jendela untuk menyampaikan gagasan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Saat ini, ia aktif sebagai penulis lepas dan terbuka untuk kolaborasi dalam berbagai proyek penulisan. Ia dapat dihubungi melalui surel: ahorenyulex@gmail.com.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!