Manokwari, 1 Juli 2025 — Aksi pemalangan jalan kembali terjadi di Distrik Sidey, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Massa memblokade akses jalan menuju Arfu dengan menumpuk batuan kali secara sengaja di tengah jalan. Mereka juga membentangkan spanduk berisi empat poin tuntutan yang menegaskan sikap tegas mereka dalam perjuangan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Manokwari Barat.
Aksi ini bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, beberapa kelompok masyarakat juga melakukan pemalangan jalan di berbagai titik sebagai bentuk protes. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan atas lambatnya proses administrasi DOB terus meluas dan berpotensi menjadi konflik yang lebih besar jika tidak segera diselesaikan.

Tuntutan Warga: DOB Manokwari Barat Harga Mati
Dalam spanduk yang terbentang di lokasi pemalangan, warga menyampaikan empat tuntutan yang menjadi dasar aksi mereka. Berikut adalah rincian tuntutan lengkap beserta data pendukungnya:
1. DOB Kabupaten Manokwari Barat Harga Mati
Warga menegaskan bahwa pembentukan DOB Kabupaten Manokwari Barat adalah amanat Presiden Republik Indonesia yang telah disampaikan dalam kunjungannya ke Manokwari pada tahun 2022. Pada saat itu, Presiden dengan jelas menyatakan bahwa pembentukan DOB di wilayah Papua merupakan bagian dari strategi percepatan pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa komitmen ini bersifat final dan tidak dapat ditawar lagi.
Lebih lanjut, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa DOB Kabupaten Manokwari Barat telah masuk dalam daftar prioritas bersama dengan beberapa DOB lainnya. Namun, hingga pertengahan tahun 2025, proses administrasi dan penetapan wilayah masih belum juga tuntas. Kondisi ini membuat warga semakin kecewa, sebab beban pelayanan publik di Kabupaten Manokwari saat ini dinilai terlalu berat, sebagaimana tercatat dalam kajian Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat tahun 2023. Dengan demikian, pembentukan DOB Manokwari Barat dianggap sebagai solusi yang tidak bisa ditunda lagi.
2. 12 Distrik Harus Dikembalikan ke Papua Barat
Warga juga menuntut agar 12 distrik yang sebelumnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Manokwari Barat dikembalikan ke Provinsi Papua Barat. Hal ini merujuk pada hasil Musyawarah Masyarakat Adat Arfak dan tokoh-tokoh lokal pada tahun 2022. Dalam kesepakatan tersebut, telah diputuskan bahwa distrik-distrik seperti Kebar, Amberbaken, dan Senopi adalah bagian dari rencana pembentukan DOB Kabupaten Manokwari Barat.
Namun, setelah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, terjadi tumpang tindih klaim wilayah administratif, yang memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Peta administratif yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri tahun 2024 memperlihatkan adanya konflik batas wilayah yang semakin membingungkan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, warga menilai bahwa Gubernur Papua Barat Daya harus mematuhi kesepakatan awal yang telah dibuat, sebab kesepakatan itu merupakan keputusan bersama sebelum Provinsi Papua Barat Daya disahkan. Apabila pengembalian wilayah ini tidak segera dilakukan, maka konflik sosial dan gejolak di tingkat akar rumput akan terus membesar.
3. Stop Caplok Tanah Adat Arfak
Selain itu, warga juga memprotes tindakan Pemerintah Kabupaten Tambrauw dan Provinsi Papua Barat Daya yang dianggap mencaplok wilayah tanah adat Arfak. Data yang dihimpun dari laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Papua Barat tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 5.000 hektare tanah adat kini diklaim secara sepihak oleh Tambrauw dan Papua Barat Daya.
Masyarakat menilai bahwa tindakan pencaplokan wilayah adat ini melanggar hukum dan merusak tatanan adat yang sudah berlangsung turun-temurun. Bahkan, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak masyarakat adat atas tanahnya harus diakui dan dihormati oleh negara.
Lebih dari itu, masyarakat juga mengingatkan bahwa pengingkaran terhadap hak ulayat akan memicu konflik sosial yang sulit dikendalikan. Oleh sebab itu, mereka mendesak pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk menghentikan segala bentuk klaim sepihak terhadap wilayah adat Arfak.
4. Bupati Tambrauw Harus Bertanggung Jawab
Poin terakhir yang menjadi sorotan adalah pembatalan kegiatan sosialisasi Kemendagri di Jandurauw Kebar pada 20 Juni 2025. Surat pembatalan yang ditandatangani oleh Bupati Tambrauw dianggap sebagai pemicu utama konflik yang terjadi saat ini. Pembatalan tersebut disampaikan tanpa melalui dialog terbuka dengan masyarakat, yang justru memperkeruh suasana.
Menurut sumber internal di Kementerian Dalam Negeri, kegiatan sosialisasi tersebut seharusnya menjadi momentum untuk menyelesaikan persoalan batas wilayah secara damai. Namun, keputusan sepihak Bupati Tambrauw justru membatalkan pertemuan penting itu dan dinilai sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Warga menilai bahwa dampak dari keputusan ini sangat serius, sebab masyarakat kini terpecah dan aksi-aksi pemalangan jalan semakin sering terjadi. Oleh karena itu, mereka menuntut agar Bupati Tambrauw segera memberikan klarifikasi dan bertanggung jawab atas konflik yang telah meluas ini.
Situasi Memanas, Masyarakat Minta Pemerintah Turun Tangan
Aksi pemalangan yang berlangsung sejak pagi ini telah melumpuhkan arus lalu lintas secara total. Sejumlah pengendara dan masyarakat pengguna jalan mengeluhkan terhambatnya aktivitas mereka. Kondisi ini semakin memperpanjang daftar pemalangan yang selama ini menjadi salah satu bentuk perlawanan masyarakat dalam memperjuangkan hak mereka.
Seorang warga yang terjebak di lokasi mengatakan, “Kami sudah lelah. Pemalangan seperti ini terus terjadi dan selalu berdampak pada kehidupan masyarakat kecil. Pemerintah harus segera turun tangan dan selesaikan masalah ini.”
Masyarakat berharap pemerintah pusat, pemerintah provinsi, serta seluruh pemangku kepentingan segera duduk bersama untuk menyelesaikan masalah administratif dan batas wilayah secara transparan dan berkeadilan. Jika tidak, masyarakat khawatir bahwa konflik seperti ini akan terus berulang dan semakin sulit dikendalikan. *)
Reporter: Elany
Editor: Dilina