OPINI, Pegaf.com — Di tahun politik ini, ruang publik Papua kembali dipenuhi suara-suara. Seruan dukungan, kampanye, dan video-video yang viral di media sosial bertebaran. Tokoh-tokoh lokal tiba-tiba muncul, membawa bendera perubahan, menepuk dada seolah mewakili suara rakyat. Namun semakin keras mereka berbicara, semakin tampak kosong isi yang dibawa.
Sebut saja seorang tokoh lokal yang kini gencar menyuarakan dukungan terhadap pasangan calon tertentu. Ia aktif di media sosial, tampil dalam berbagai pertemuan, bahkan menggaungkan semangat moral dan keadilan. Namun saat narasinya dikupas, kita tidak menemukan satu pun pembahasan tentang substansi masalah Papua: pendidikan yang timpang, infrastruktur dasar yang belum merata, atau masa depan anak-anak Papua yang masih terjebak dalam sistem yang tidak berpihak.
Narasi-narasi itu penuh slogan, namun miskin data. Penuh gairah politik, namun minim refleksi sosial. Dukungan kepada tokoh politik sah-sah saja. Tapi ketika suara yang dibawa hanya memutar ulang simbol loyalitas tanpa menyentuh realitas, maka yang terjadi bukanlah kampanye perubahan, melainkan reproduksi euforia kosong.

Papua adalah wilayah dengan luka sejarah, kompleksitas sosial, dan ketimpangan yang akut. Setiap tokoh yang bersuara di ruang public-baik sebagai politisi, aktivis, relawan, atau pendukung, harus memahami tanggung jawab moral untuk berbicara dengan isi. Mengangkat masalah yang menyentuh tanah dan rakyat, bukan sekadar membela nama atau menuding lawan politik.
Fenomena lain yang muncul adalah glorifikasi terhadap tokoh politik seolah tanpa cacat. Diangkat sebagai simbol moral, dibela habis-habisan tanpa kritik. Padahal, dalam politik yang sehat, bahkan pemimpin yang paling dicintai pun harus terus diawasi dan dikritisi. Demokrasi Papua akan mandek jika hanya diisi oleh penggemar, bukan oleh warga negara yang kritis.
Data terbaru dari BPS Papua (2024) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Papua masih berada di angka 26,03%, jauh di atas rata-rata nasional yang kini turun menjadi 9,03%. Di sektor pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua hanya mencapai 62,24—masih terendah di Indonesia. Sementara itu, akses layanan kesehatan tetap sangat terbatas, terutama di wilayah pedalaman dan daerah terpencil masih sangat terbatas, dengan rasio dokter dan tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk serta minimnya fasilitas kesehatan dasar.
Namun isu-isu strategis seperti korupsi anggaran pembangunan kampung, hilangnya tanah adat karena investasi, atau anak-anak yang belajar tanpa fasilitas, seolah lenyap dari wacana para pendukung vokal ini. Padahal, di situlah letak politik yang sesungguhnya: menjawab kebutuhan paling dasar dari rakyat yang paling terlupakan.
Beberapa kampanye bahkan hanya menampilkan suasana meriah, iring-iringan rakyat, dan deklarasi penuh semangat. Tapi kita perlu bertanya: apakah semua energi ini juga diarahkan untuk membangun kesadaran politik yang kritis? Atau hanya menjadi tontonan lima tahunan yang berakhir ketika surat suara selesai dihitung?
Pemilihan Suara Ulang (PSU) yang kembali digelar di beberapa wilayah Papua semestinya menjadi momentum reflektif. Bahwa proses demokrasi di Papua belum sepenuhnya dipercaya rakyat. PSU
bukan sekadar pengulangan teknis, tapi cermin dari sistem yang keropos—di mana integritas penyelenggara, ketertiban suara, dan keadilan elektoral masih jadi pertanyaan besar.
Dalam konteks ini, suara-suara yang hanya sibuk menyalahkan lawan atau memuja satu kandidat justru kehilangan urgensinya. Sebab yang dibutuhkan hari ini bukan pembela tokoh, tapi pembela sistem. Bukan kampanye dukungan, tapi evaluasi demokrasi.
Politik Papua hari ini tidak hanya butuh suara lantang. Ia butuh suara yang benar. Suara yang berpihak, yang memahami konteks, dan yang berani menyuarakan kenyataan meski tidak populer. Tokoh-tokoh lokal yang kini tampil di permukaan harus menyadari, mereka tidak sedang membangun popularitas—mereka sedang diuji: apakah akan jadi jembatan suara rakyat, atau sekadar pengeras suara elit politik?
Sudah saatnya politik di Papua kembali menyentuh tanah. Kembali bicara soal mama-mama yang ke pasar dengan hasil bumi yang tak laku. Tentang guru honorer yang digaji di bawah UMK. Tentang anak- anak yang sekolah di bangunan tanpa dinding.
Dan semua itu, tidak akan pernah berubah hanya dengan suara lantang. Papua tidak butuh gema. Papua butuh isi. *)
Penulis: Arius
*) Arius Adeputra Sabarofek, adalah penulis independen dan pemerhati isu-isu Papua. Ia aktif dalam literasi masyarakat dan kerap menulis opini yang menyoroti persoalan sosial, politik, dan pembangunan di wilayah timur Indonesia.
Catatan Redaksi: Opini ini telah mengalami perubahan pada isi, yaitu pada paragraf 6 dan ilustrasi sesuai permintaan penulis.