/

Reformasi Program Makan Bergizi Gratis: Tantangan dan Peluang

Krisis Implementasi di Balik Anggaran Raksasa

/
233 dilihat
6 menit baca

EDITORIAL, Pegaf.com — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengantongi anggaran fantastis Rp 335 triliun untuk 82,9 juta penerima manfaat melalui 30.000 satuan layanan.

Angka ini mencerminkan ambisi besar pemerintah dalam memperbaiki gizi anak-anak Indonesia melalui intervensi skala nasional yang terstruktur dan berjangka panjang.

Namun, dalam delapan bulan terakhir, sebanyak 4.000 siswa dilaporkan keracunan akibat pelaksanaan program tersebut.

Insiden tersebut memicu kekhawatiran publik dan membuat beberapa pemerintah daerah menghentikan sementara program MBG sebagai langkah darurat mitigasi risiko.

Ilustrasi: Reformasi Program Makan Bergizi Gratis: Tantangan dan Peluang. | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi: Reformasi Program Makan Bergizi Gratis: Tantangan dan Peluang. | Dok. Pegaf.com / Gavier

Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan berskala besar tidak otomatis menghasilkan keberhasilan implementasi di lapangan.

Seperti dikatakan Sabatier (1986), kegagalan implementasi sering terjadi bukan karena rancangan kebijakan buruk, tetapi karena lemahnya koordinasi dan pengawasan lokal.

Oleh karena itu, sekadar menggelontorkan dana tanpa mekanisme pengendalian ketat justru membuka peluang inefisiensi, bahkan bahaya kesehatan masyarakat.

Mengapa Pemerintah Daerah Harus Diberdayakan?

Pemerintah daerah memegang peran kunci sebagai penghubung antara regulasi pusat dan realitas lapangan.

Sayangnya, dalam praktik MBG, peran mereka lebih banyak reaktif ketimbang proaktif. Mereka baru bergerak ketika masalah terjadi, bukan sejak tahap perencanaan.

Menurut teori decentralized governance (Oates, 1972), pemberdayaan lokal memungkinkan kebijakan publik lebih adaptif terhadap kebutuhan wilayah yang beragam.

Oleh karena itu, pembentukan konsorsium daerah yang melibatkan stakeholder seperti akademisi, organisasi masyarakat, dan dunia usaha menjadi sangat krusial.

Baca juga:  Roti, Rahasia, dan Rumah dalam Sunyi Madre

Dengan cara ini, distribusi makanan bergizi dapat mengutamakan kearifan lokal, meminimalkan risiko logistik, dan mendorong inovasi pangan daerah.

Selain itu, pelibatan komunitas lokal meningkatkan akuntabilitas karena masyarakat ikut mengawasi jalannya program secara langsung.

Know-How: Kunci Deliverology untuk Reformasi MBG

Sir Michael Barber melalui konsep deliverology menekankan pentingnya know-how atau pengetahuan implementasi efektif dalam kebijakan publik.

Dalam konteks MBG, know-how ini mencakup pemetaan rantai suplai pangan, mekanisme pemantauan gizi siswa, dan strategi pengendalian risiko keracunan.

Program besar seperti MBG tidak cukup diatur dengan pedoman umum dan pengawasan administratif; ia membutuhkan unit delivery di tingkat daerah yang memiliki mandat jelas, sumber daya memadai, dan indikator kinerja terukur.

Sebagaimana diuraikan Barber (2015) dalam How to Run a Government, tata kelola efektif harus memprioritaskan kejelasan target, pengumpulan data rutin, dan mekanisme koreksi cepat.

Dalam kasus MBG, data mengenai penyebab keracunan harus transparan, dianalisis sistematis, dan dijadikan dasar perbaikan kebijakan distribusi makanan.

Tanpa siklus umpan balik ini, program akan terus mengulang kesalahan yang sama, membebani keuangan negara, sekaligus menggerus kepercayaan publik.

Prioritas dan Efisiensi: Bukan Sekadar Penghematan

Kritik publik sering berfokus pada besarnya anggaran Rp 335 triliun, namun besaran dana bukanlah masalah utama.

Permasalahan justru terletak pada efisiensi penggunaan dana dan ketepatan sasaran penerima.

Jika keterbatasan sumber daya menjadi kendala, pemerintah dapat menerapkan strategi prioritas wilayah, misalnya memulai dari daerah dengan prevalensi gizi buruk tertinggi.

Baca juga:  Tambang di Pegaf dan Ancaman yang Mengintai

Pendekatan bertahap ini sejalan dengan prinsip targeted intervention, di mana alokasi disesuaikan berdasarkan urgensi dan kesiapan daerah.

Pemerintah pusat sebaiknya hanya menetapkan standar umum dan memberikan ruang inovasi bagi daerah dalam menentukan menu berbasis pangan lokal.

Pendekatan ini selain menghemat biaya logistik juga mendukung ketahanan pangan daerah dan mengurangi ketergantungan impor bahan makanan.

Dengan demikian, MBG tidak hanya menjadi program bantuan gizi, tetapi juga katalis penguatan ekonomi lokal.

Pengukuran Keberhasilan Harus Realistis

Salah kaprah terbesar dalam menilai keberhasilan program gizi adalah menghubungkannya langsung dengan peningkatan prestasi akademik siswa dalam waktu singkat.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!