
- Judul: Sang Alkemis (The Alchemist)
- Penulis: Paulo Coelho
- Penerbit di Indonesia: Gramedia Pustaka Utama
- Genre: Fiksi, Filsafat, Alegori
- Tahun Terbit (Original): 1988
Ada seorang gembala dari Andalusia. Namanya Santiago. Tapi nama itu, seperti juga domba-dombanya, pada akhirnya hanya sebuah detail yang bisa ia lepaskan. Yang penting adalah ia, seorang gembala, dan sebuah mimpi yang terus-menerus memanggilnya ke arah Piramida di Mesir.
Di zaman yang bising oleh ambisi-ambisi pragmatis dan kalkulasi untung-rugi, kisah Paulo Coelho dalam Sang Alkemis terasa seperti sebuah anomali. Ia datang bukan dengan deru, melainkan dengan bisikan. Prosa Coelho jernih, nyaris telanjang, mengingatkan kita pada dongeng-dongeng purba yang dituturkan di dekat perapian, ketika dunia di luar masih gelap dan penuh misteri.
Buku ini berbicara tentang sebuah “Legenda Pribadi”—sebuah kata yang puitis untuk apa yang kita sebut “takdir” atau “panggilan hidup”. Sebuah janji terucap: jika kau menginginkan sesuatu dengan segenap hatimu, “seluruh alam semesta akan berkonspirasi untuk membantumu mencapainya”.
Sebuah janji yang indah. Tapi di sini letak paradoksnya. Bagi jiwa modern yang telah terbiasa dengan ironi dan skeptisisme, janji semesta ini terdengar terlalu optimistis, bahkan naif. Kita hidup dalam dunia yang tak lagi percaya pada konspirasi para dewa atau malaikat—apalagi konspirasi kebaikan. Dunia kita adalah dunia yang bising oleh kebetulan-kebetulan yang kejam dan sejarah yang berjalan tanpa plot.
Namun, barangkali di situlah kekuatan Coelho. Ia tidak sedang menulis sebuah risalah filosofis yang alot. Ia menyajikan sebuah parabel. Santiago adalah kita—atau setidaknya, siapa diri kita sebelum sinisme mengambil alih. Perjalanannya adalah sebuah ziarah batin. Ia belajar membaca “pertanda” bukan dari kitab suci, melainkan dari kepak elang, dari butir pasir gurun, dari keheningan. Ia menemukan Tuhan bukan dalam sebuah institusi, melainkan dalam “Jiwa Dunia” yang bersemayam dalam segala hal.
Tentu, orang bisa mengkritik cerita ini sebagai sebuah simplifikasi. Hidup tak semudah itu. Takdir tak selalu menunggu di ujung jalan setapak yang jelas. Cinta, seperti yang ditemui Santiago pada Fatima, sering kali menjadi alasan untuk berhenti, bukan untuk terus berjalan. Ketakutan adalah hantu yang lebih sering menang.
Tapi Sang Alkemis agaknya tak peduli pada argumen itu. Ia memilih untuk percaya. Ia menawarkan sebuah penawar: sebuah iman pada perjalanan itu sendiri. Bahwa harta karun yang sesungguhnya bukanlah emas yang terkubur, melainkan perubahan yang terjadi dalam diri sang pencari. Alkemianya bukanlah mengubah logam menjadi mulia, melainkan mengubah eksistensi yang banal menjadi sebuah Legenda.
Maka, ketika Santiago akhirnya tiba di tempat tujuannya, kita tersadar bahwa Piramida itu sendiri tak lagi penting. Yang berharga adalah jejak langkahnya di atas pasir, percakapannya dengan sang Alkemis, dan keheningan gurun yang mengajarkannya bahasa semesta.
Buku ini adalah sebuah jeda. Sebuah catatan pinggir di tengah riuhnya zaman yang menuntut kita untuk selalu waspada dan curiga. Ia mengingatkan, mungkin ada sebuah kebijaksanaan kuno yang terlupakan: bahwa terkadang, untuk menemukan, kita hanya perlu berangkat dan percaya.
Dan perjalanan pun usai. Atau baru dimulai? Pertanyaan itu menggantung di udara, sunyi, seperti debu gurun yang diterbangkan angin. *)
Penulis: Elany
*) Elany, lahir di Pegunungan Arfak pada 17 Mei. Penulis yang tertarik di bidang humanisme dan sastra. Suka mancing, membaca, dan bikin puisi.