Ilustrasi Sekolah Gratis yang Tak Lagi “Gratis”: Antara Janji Negara dan Realitas Warga | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi Sekolah Gratis yang Tak Lagi “Gratis”: Antara Janji Negara dan Realitas Warga | Dok. Pegaf.com / Gavier
/

Sekolah Gratis yang Tak Lagi “Gratis”: Antara Janji Negara dan Realitas Warga

/
1629 dilihat
8 menit baca

EDITORIAL, Pegaf.com — Ketika Helen Marce Huwae mengunggah unek-uneknya di grup Facebook “Info kejadian kota manokwari”, ia bukan sedang mencari sensasi. Ia sedang menggambarkan keresahan nyata yang dirasakan oleh banyak orang tua di Indonesia, khususnya di Papua Barat. Ia menulis dengan nada bingung dan kecewa: “Sebenarnya sekolah gratis itu yang bagaimana e…? Pendaftaran, Komite, atau Uang Seragam yang gratis, soalnya anak SD punya biaya seragam saja 1 juta, kita belum tahu dengan buku-buku dan lain-lain lagi.”

Pertanyaan yang sederhana itu sesungguhnya menyimpan kegelisahan yang lebih besar: apakah janji “pendidikan gratis” dari negara benar-benar terwujud di lapangan? Ataukah ia sekadar slogan kebijakan yang kabur maknanya ketika menyentuh kenyataan hidup warga?

Janji Konstitusi: Pendidikan Gratis Bagi Seluruh Rakyat

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Dan ayat (2) menegaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Dalam praktiknya, pemerintah mengembangkan kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bertujuan membantu pendanaan operasional non-personalia sekolah agar siswa tidak dibebani biaya pendidikan. BOS seharusnya mencakup kebutuhan dasar seperti gaji guru honor, biaya listrik, air, alat tulis kantor, bahkan pembelian buku penunjang.

Namun, seperti yang diutarakan oleh Helen, kenyataan di lapangan tidak semanis teks perundang-undangan. Seragam, buku, uang komite, dan pungutan lain tetap menjadi beban yang harus dipikul orang tua. Pertanyaannya, jika sekolah sudah dibiayai negara, mengapa masih ada biaya tambahan?

Baca juga:  Bupati Pegaf: Penghargaan yang Terdengar Aneh

Sekolah Gratis Tapi Mahal: Paradoks yang Tak Pernah Usai

Di berbagai daerah, terutama wilayah timur Indonesia seperti Manokwari, biaya pendidikan menjadi momok tersendiri. Satu survei kecil yang dilakukan oleh tim jurnalis Pegaf.com di sekitar Manokwari menunjukkan bahwa rata-rata biaya masuk SD di tahun ajaran 2024–2025 mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2,3 juta, termasuk untuk seragam, uang komite, dan buku. Ini belum termasuk biaya kegiatan ekstrakurikuler.

Ilustrasi Sekolah Gratis yang Tak Lagi “Gratis”: Antara Janji Negara dan Realitas Warga | Dok. Pegaf.com / Gavier
Ilustrasi Sekolah Gratis yang Tak Lagi “Gratis”: Antara Janji Negara dan Realitas Warga | Dok. Pegaf.com / Gavier

Seorang warga dari daerah Wosi, ibu Yeni P. yang memiliki dua anak di sekolah dasar, mengeluhkan bahwa “Katanya gratis, tapi dari awal masuk saja kami sudah bayar hampir dua juta. Itu baru seragam dan uang bangku. Katanya buku dari sekolah, tapi ujungnya kami disuruh bayar lagi.”

Di sisi lain, pihak sekolah juga merasa terjepit. Kepala Sekolah salah satu SD Negeri di daerah Manokwari Barat, misalnya, menyampaikan bahwa dana BOS memang turun, tetapi tidak cukup menutupi semua kebutuhan sekolah. Ia berkata, “Kalau kita andalkan BOS saja, gaji guru honor bisa tertunda, listrik mati, dan ATK pun kosong. Jadi kami minta komite bantu.” Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara beban yang ditanggung sekolah dan dana yang disalurkan pemerintah.

Dilema Dana Komite dan Pungutan ‘Sukarela’

Seringkali, sekolah membungkus pungutan dengan istilah “uang komite” atau “sumbangan sukarela”. Namun, warga tahu bahwa “sukarela” sering kali berarti “terpaksa”. Jika tidak bayar, anak-anak bisa dipermalukan, tidak dapat seragam, bahkan tidak bisa ikut ujian.

Padahal, berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite tidak diperbolehkan memungut dana secara wajib kepada orang tua. Sumbangan boleh ada, tetapi harus berdasarkan kesukarelaan, tidak mengikat, dan tidak menjadi syarat layanan pendidikan. Namun, lemahnya pengawasan serta kurangnya pemahaman masyarakat membuat peraturan ini mudah dilanggar.

Baca juga:  TikTok Jadi Media Konsolidasi Aksi Demo Terkait Dana Kampung di Manokwari

Hal ini juga diperparah dengan birokrasi yang tidak transparan. Orang tua seperti Helen kebingungan harus percaya pada siapa. Informasi yang diterima tidak jelas, dan seringkali sekolah melarang orang tua untuk mengkritisi keputusan sekolah. Helen menulis: “Katanya tidak boleh dengar isu-isu dari luar, cukup dengar yang dari sekolah saja.” Ini mencerminkan praktik kekuasaan yang anti-kritik di level paling dasar: pendidikan anak.

Ketimpangan Struktural dan Realitas Papua

Jika di Jawa atau kota-kota besar biaya pendidikan sudah berat, di Papua beban itu dua kali lipat. Mahalnya harga barang, terbatasnya akses, dan ketergantungan pada jalur logistik dari luar Papua menjadikan biaya pendidikan makin membengkak. Harga seragam yang di daerah lain hanya Rp300.000, di Manokwari bisa mencapai Rp1 juta. Belum lagi jika orang tua harus membeli sendiri buku LKS yang seharusnya disediakan sekolah.

Ketimpangan ini membuat janji pendidikan gratis terasa diskriminatif. Apakah anak-anak Papua tidak berhak mendapat perlakuan setara dari negara? Mengapa implementasi kebijakan nasional seperti BOS dan sekolah gratis tidak mempertimbangkan disparitas geografis dan ekonomi?

Kita perlu mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Jika pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu, maka Papua tidak sedang disiapkan untuk perubahan, melainkan sedang didorong menjauh dari keadilan sosial.

Baca juga:  Perempuan di Titik Nol – Jeritan Sunyi dari Penjara Patriarki

Jalan Keluar: Pendidikan Gratis yang Berkeadilan

Negara tidak cukup hanya menyatakan bahwa pendidikan gratis. Negara harus menjamin bahwa gratis itu berarti bebas dari segala bentuk pungutan, termasuk biaya tak langsung yang memberatkan. Pemerintah pusat harus meninjau ulang besar dana BOS dan formula pembagiannya, agar wilayah seperti Papua mendapat afirmasi lebih besar.

Pemerintah daerah juga wajib membangun sistem pengawasan transparan terhadap pengelolaan dana sekolah. Dewan Pendidikan harus diberdayakan untuk menjadi penyambung aspirasi antara sekolah dan masyarakat, bukan sekadar menjadi “pagar yang diam”.

Selain itu, keterlibatan masyarakat harus dijamin. Orang tua seperti Helen tidak boleh dibungkam hanya karena bertanya. Justru keberaniannya mempertanyakan kebijakan menjadi tanda bahwa demokrasi di akar rumput masih hidup. Media sosial bukan hanya ruang curhat, tapi bisa menjadi kanal partisipasi publik untuk mengawal pendidikan yang adil.

Penutup: Jangan Bungkam Suara Warga

Suara Helen Marce Huwae adalah suara banyak ibu. Ia bukan pembuat masalah. Ia adalah warga negara yang peduli, yang ingin anaknya sekolah tanpa beban. Negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, harus menjawab pertanyaan sederhananya: “Sekolah gratis itu yang bagaimana e…?”

Jika negara tak bisa menjawab, maka “sekolah gratis” hanyalah mitos. Dan ketika mitos dipertahankan demi citra politik, maka sesungguhnya negara telah mengkhianati amanat konstitusi. Sudah waktunya kita menegakkan keadilan pendidikan—bukan dengan slogan, tetapi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Jangan biarkan anak-anak Papua tertinggal hanya karena seragam sekolah yang terlalu mahal. *)

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Dilina

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!