
- Penulis: F. Budi Hardiman
- Penerbit: Kanisius
- Tahun Terbit: 07 Februari 2019
- Jumlah Halaman: ± 345 halaman
- ISBN: 978-979-21-4345-4
- Bahasa: Indonesia
ULAS BUKU, Pegaf.com – Ada buku yang tidak sekadar mengajarkan teori. Ia seperti menuntun pembacanya menyeberangi sungai yang airnya bergerak antara masa lalu dan masa kini. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida karya F. Budi Hardiman adalah buku semacam itu. Kanisius menerbitkannya bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai undangan untuk ikut berjalan dalam sejarah cara kita memahami.
Hermeneutik: Seni yang Tidak Pernah Selesai
Hermeneutik, kata Hardiman, bukan sekadar metode. Ia adalah peristiwa. Peristiwa ketika pembaca dan penulis saling menatap dari tepi waktu yang berbeda. Kadang keduanya bisa bersalaman. Kadang hanya saling mengintip, dengan prasangka masing-masing.
Schleiermacher memulai dengan keyakinan: kita bisa memahami penulis lebih baik daripada penulis itu sendiri. Ia memadukan bahasa dan psikologi, gramatika dan jiwa. Pemahaman, baginya, bukan hanya mencari arti kata, tapi juga mendengarkan gema yang tidak tertulis.
Dari Metode ke Cara Mengada
Dilthey membawa hermeneutik ke ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia memisahkan penjelasan yang dingin dari pemahaman yang hangat. Makna, katanya, tumbuh dari pengalaman hidup — sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi angka.
Lalu Heidegger datang. Hermeneutik bukan lagi alat, melainkan bagian dari keberadaan kita. Memahami berarti mengada. Dan mengada berarti selalu sudah berada di tengah dunia yang penuh tanda. Kita membaca, karena kita hidup di antara hal-hal yang menuntut dimaknai.
Tradisi, Dialog, dan Jejak yang Menunda
Gadamer mengingatkan bahwa pemahaman adalah percakapan. Tradisi memberi kita kata-kata, bahkan ketika kita ingin melawannya. Di sanalah terjadi “peleburan cakrawala”: masa lalu dan masa kini saling memberi warna, lalu membentuk makna yang tak sepenuhnya kita rencanakan.
Derrida, di ujung perjalanan ini, mengingatkan: makna tak pernah hadir utuh. Selalu ada jarak. Selalu ada jejak yang menunda. Dekonstruksi, tulis Hardiman, “bukan meruntuhkan teks, melainkan membuka kemungkinan membaca secara berbeda.”
Mengapa Buku Ini Penting
Buku ini tidak hanya menata sejarah hermeneutik, tetapi juga menyentuh sesuatu yang lebih dekat: bagaimana kita membaca dunia. Di tengah derasnya informasi, hermeneutik mengajarkan kesabaran untuk tidak langsung percaya, juga keberanian untuk tidak langsung menolak.
F. Budi Hardiman menulis dengan bahasa yang mengalir, tapi menyimpan kedalaman. Setiap bab seperti percakapan yang tak terburu-buru. Kita diajak mengingat bahwa memahami adalah pekerjaan yang tak pernah selesai. Dan mungkin memang tak perlu selesai. *)
Penulis: Elany
Editor: Dilina
Sudah punya🔥🔥