Beberapa minggu lalu, Bupati Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) mengawal langsung kedatangan para investor yang tertarik menanamkan modal di sektor pertambangan. Kunjungan itu memicu beragam respons. Di satu sisi, sejumlah masyarakat menyambut baik dengan harapan terbukanya lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi lokal. Namun di sisi lain, tidak sedikit warga yang justru menentang keras, khawatir terhadap kerusakan lingkungan yang akan sulit dipulihkan, serta ketimpangan hasil yang kerap tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Polemik ini bukan hal baru. Di banyak daerah di Indonesia, khususnya Papua, pola yang berulang adalah masyarakat yang harus menanggung beban kerusakan, sementara keuntungan besar mengalir ke kantong investor dan segelintir elit. Kita harus jujur mempertanyakan: apakah Pegaf sedang diarahkan menuju pembangunan yang berkelanjutan, atau justru sedang digiring pelan-pelan ke jurang konflik sosial dan bencana ekologis?
Potensi Tambang, Potensi Konflik
Kehadiran pertambangan di wilayah dengan karakter sosial dan budaya yang kuat seperti Pegaf memiliki potensi besar menciptakan gesekan. Menurut teori Resource Curse atau kutukan sumber daya alam yang dikemukakan oleh Richard Auty (1993), wilayah kaya sumber daya kerap justru terjebak dalam kemiskinan, konflik, dan kegagalan pembangunan, akibat tata kelola yang buruk dan ketidakadilan distribusi manfaat. Kasus di Mimika dan Intan Jaya adalah contoh nyata bagaimana tambang di Papua menjadi pemicu konflik berkepanjangan yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan bahkan aparat keamanan.
Dalam konteks Pegaf, situasi ini bisa menjadi bom waktu. Jika pemerintah daerah tidak sejak awal membangun sistem pengelolaan yang transparan, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, serta memastikan bahwa manfaat pertambangan benar-benar kembali ke masyarakat lokal, maka potensi konflik horizontal maupun vertikal akan semakin besar. Masyarakat yang menolak akan dianggap penghalang investasi, dan tidak jarang mereka berhadapan dengan tekanan dari berbagai pihak.
Data dari Global Witness (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 200 aktivis lingkungan terbunuh setiap tahunnya akibat memperjuangkan hak atas tanah dan menolak proyek ekstraktif seperti tambang dan perkebunan skala besar. Apakah Pegaf ingin menambah daftar luka tersebut?
Risiko Kerusakan Lingkungan yang Tak Terpulihkan
Pegaf adalah wilayah yang unik. Lanskap pegunungan, danau, dan hutan lebat merupakan warisan alam yang tak ternilai. Namun, pengalaman dari berbagai daerah menunjukkan bahwa eksploitasi tambang, apalagi jika dikelola tanpa pengawasan ketat, akan membawa kerusakan yang sulit dipulihkan. Lihatlah yang terjadi di Gunung Botak, Pulau Buru. Aktivitas tambang emas yang semrawut tidak hanya merusak bentang alam, tetapi juga mencemari air, memicu longsor, dan meninggalkan jejak lubang-lubang maut yang menganga.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2023 terdapat lebih dari 3.000 lubang bekas tambang yang terbengkalai dan tidak direklamasi di seluruh Indonesia. Banyak di antaranya menelan korban jiwa, termasuk anak-anak yang bermain di sekitar lubang tersebut. Jika pemerintah Pegaf dan investor tidak memiliki rencana reklamasi yang jelas sejak awal, besar kemungkinan kerusakan serupa akan terulang di Pegaf.
Di Pegaf, masyarakat masih sangat bergantung pada sumber air bersih dari mata air dan danau alami seperti Danau Anggi. Jika ekosistem rusak, sedimentasi meningkat, dan pencemaran logam berat terjadi, maka masyarakat lokal akan kehilangan akses terhadap sumber kehidupan mereka sendiri. Masalahnya, tambang kerap meninggalkan dampak jangka panjang, bahkan ketika keuntungan ekonominya sudah berhenti mengalir.
Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Dirugikan?
Harapan yang kerap digaungkan dalam setiap proyek tambang adalah janji pekerjaan dan peningkatan ekonomi lokal. Namun, fakta di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), banyak masyarakat adat di Papua yang hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri. Mereka tidak mendapatkan posisi strategis di perusahaan, hanya dipekerjakan di level buruh kasar, dan lebih sering terdampak oleh limbah, polusi, serta kehilangan ruang hidup.
Lebih ironis, pendapatan daerah yang dijanjikan dari sektor tambang pun kerap tidak optimal. Dalam laporan BPK tahun 2022, banyak daerah penghasil tambang di Indonesia justru mengalami kebocoran penerimaan, manipulasi data produksi, dan lemahnya pengawasan. Pegaf yang infrastrukturnya masih sangat terbatas dan kapasitas pengawasan pemerintah daerahnya belum memadai, berpotensi besar menjadi korban praktik-praktik semacam ini.
Kalaupun ada dana bagi hasil, apakah pemerintah daerah memiliki sistem pengelolaan yang akuntabel? Apakah ada jaminan dana tersebut dipakai untuk membangun sekolah, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur desa? Atau justru akan habis untuk belanja birokrasi yang tidak berdampak langsung bagi rakyat?
Mengapa Harus Hati-Hati
Pemerintah daerah tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan besar yang berdampak pada generasi mendatang. Menurut konsep Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), setiap aktivitas investasi di wilayah adat harus mendapatkan persetujuan yang bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara lengkap kepada masyarakat. Artinya, masyarakat harus benar-benar memahami risiko dan manfaat yang akan mereka hadapi, bukan sekadar diiming-imingi janji pekerjaan dan pembangunan.
Pemerintah daerah seharusnya mengedepankan kajian dampak lingkungan (AMDAL) yang melibatkan partisipasi publik secara luas, termasuk komunitas adat yang paling dekat dengan lokasi tambang. Sayangnya, proses-proses partisipatif seperti ini seringkali hanya menjadi formalitas. Jika masyarakat tidak benar-benar dilibatkan, konflik sosial bukan lagi kemungkinan, tetapi keniscayaan.
Selain itu, pemerintah Pegaf perlu belajar dari kegagalan daerah lain. Kasus di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, menjadi pelajaran pahit bagaimana izin tambang diberikan tanpa kajian yang matang, yang akhirnya memicu gelombang penolakan besar dan gugatan hukum yang melelahkan. Jangan sampai Pegaf menempuh jalan yang sama.
Membangun dengan Kearifan Lokal
Pegaf sejatinya memiliki peluang besar membangun dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan dan berbasis pada kearifan lokal. Pariwisata berbasis budaya dan ekowisata bisa menjadi sektor unggulan yang justru menjaga kelestarian alam. Potensi Danau Anggi, keunikan budaya Arfak, dan kekayaan biodiversitas Pegaf bisa menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan jika dikelola dengan visi jangka panjang.
Bupati dan jajarannya seharusnya memperjuangkan model pembangunan yang tidak merusak. Memang, investasi tambang seringkali terlihat menggiurkan karena menawarkan dana besar dalam waktu singkat. Namun, keuntungan instan itu bisa membawa kerugian abadi. Pilihan ada di tangan pemerintah dan masyarakat Pegaf. Apakah akan mengejar keuntungan jangka pendek dengan menggadaikan masa depan, atau membangun masa depan dengan pijakan yang lestari dan adil?
Jika Pegaf memilih jalan tambang tanpa mitigasi yang jelas, bukan hanya kerusakan lingkungan yang mengancam, tetapi juga luka sosial yang dalam dan sulit disembuhkan. *)
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Dilina
Illustrator: Gavier