HUMANIORA, Pegaf.com — Hujan mengguyur Manokwari sejak fajar merekah. Jalanan berlumpur, udara membawa aroma tanah yang digerus hujan malam. Kabut tebal turun perlahan, menyelimuti Pegunungan Arfak seperti kain kafan raksasa yang menutupi rahasia di baliknya.
Kami berangkat sebelum matahari sempat menembus kabut. Enam jam perjalanan terasa seperti menyusuri luka terbuka: ban mobil terperosok ke lumpur, tangan-tangan mengangkat batu penahan jalan, dan di setiap tikungan, bekas roda alat berat mencoret-coret tubuh hutan yang dulu sunyi.
Di jalur yang seharusnya hanya dilintasi babi hutan dan pemburu cenderawasih, kini longsor memutus akses. Pohon-pohon rebah menjadi jembatan darurat, ranting-ranting patah berserakan seperti tulang yang tak sempat dikubur.
Kota Hantu di Tengah Hutan
Begitu hutan merenggang, bayangan itu tampak: ratusan gubuk terpal berdiri di tepi Sungai Wariori. Sebuah kota liar yang tak pernah masuk dalam peta, namun berdetak siang dan malam.

Setiap gubuk menampung sepuluh hingga dua belas orang. Mereka hidup di antara bau oli, lumpur, dan sisa-sisa pohon yang terbakar. Mesin-mesin berat meraung seperti binatang lapar di kejauhan.
Simon Meidodga, Kepala Distrik Wasirawi, sudah terlalu lama menyaksikan pemandangan ini. “Ini sudah lama, lima sampai enam tahun lebih,” ujarnya. “Orang-orang dari luar. Mereka gali di sini banyak sekali pakai alat berat, mungkin ratusan ya.”
Hari itu para penambang bersembunyi. Kabar kedatangan rombongan membuat mereka lenyap ke lubang-lubang tambang. Yang tertinggal hanyalah bukit puing batu, danau berair hijau yang tak berbau kehidupan, dan tanah yang berlubang seperti paru-paru yang dihisap habis.
Air yang Berubah Menjadi Racun
Di dasar lubang-lubang itu, air berwarna hijau pucat. Bukan warna lumut, melainkan jejak kimia. Merkuri, kata dugaan. Logam cair yang mampu memisahkan emas dari batu, dan pelan-pelan memisahkan kehidupan dari tanah.
Bupati Manokwari, Hermus Indou, berdiri di tepi salah satu galian, matanya menyapu kerusakan. “Para pemodal meyakinkan pemilik hak ulayat untuk izinkan tambang,” katanya lirih. “Lalu membenturkan masyarakat dengan pemerintah. Alasannya, masyarakat butuh makan. Tapi banyak yang hanya pikir untung sendiri, bukan untung bersama.”
Sawah-sawah di distrik Masni dan Wasirawi kini kering seperti halaman yang ditinggalkan hujan. Air irigasi berbau logam. Padi tidak lagi tumbuh, dan petani kehilangan musimnya. Sungai Wariori, yang dulu mengalirkan kehidupan, kini meneteskan racun.
Pasar Emas di Rimba Gelap
Di tengah belantara, pasar tumbuh seperti jamur. Ada kios sayur, warung kopi, bahkan kabarnya rumah hiburan malam. Uang kertas tak berlaku di sini. Yang berharga hanya emas.

Toto, seorang penambang yang enggan menyebut nama aslinya, mengaku kelompoknya bisa mengumpulkan setengah hingga satu kilogram emas setiap bulan. “Dijualnya ke penadah sekitar Rp1,3 juta per gram,” katanya.
Dengan perhitungan sederhana, satu kelompok menghasilkan Rp650 juta sebulan. Jika ratusan kelompok beroperasi, ratusan miliar rupiah mengalir ke luar hutan setiap bulan. Emas dengan kadar kemurnian 80–90 persen itu lenyap tanpa jejak di kas negara.
Di tanah sendiri, orang Arfak hanya menjadi penonton. Mereka melihat sungai mengeruh, ladang mati, dan hasil bumi tak lagi kembali.
Jaringan yang Terlalu Dalam
Di balik wajah-wajah penambang, ada tangan-tangan yang lebih panjang. Alat berat datang tanpa perlawanan. Jaringan logistik berjalan lancar. Starlink memancarkan internet di tengah hutan yang bahkan sinyal telepon genggam pun enggan singgah.