EDITORIAL, Pegaf.com — Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak patut diapresiasi karena kembali memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2024. Namun, capaian ini seharusnya tidak serta-merta dimaknai sebagai bukti keberhasilan mutlak atau jaminan atas pengelolaan keuangan yang bebas dari korupsi.
Memang benar, opini WTP adalah bentuk tertinggi dari penilaian audit BPK. Namun, publik harus memahami bahwa opini ini semata-mata menilai kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan, bukan membuktikan tidak adanya praktik penyelewengan atau kebocoran anggaran.
Memahami Arti WTP secara Objektif
Opini WTP tidak berarti bahwa seluruh proses pengadaan barang dan jasa, belanja daerah, atau distribusi anggaran publik telah berlangsung efisien, transparan, dan bebas dari praktik korupsi. Sebaliknya, WTP lebih bersifat administratif — bahwa laporan keuangan telah disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), didukung bukti yang memadai, dan tidak terdapat salah saji material.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun, dalam wawancaranya (Kompas TV, 2020), pernah menegaskan bahwa opini WTP bisa menyesatkan jika disalahpahami. Ia menyebut, “Opini WTP tidak menjamin penggunaan anggaran dilakukan tanpa mark-up, tanpa kolusi, atau tanpa manipulasi.” Maka dari itu, kepala daerah dan masyarakat harus bijak membaca status ini.
Data dan Fakta: Korupsi di Balik WTP
Bukan rahasia lagi bahwa banyak daerah dengan predikat WTP justru tersangkut kasus korupsi. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2022, ada 12 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, dan 7 di antaranya berasal dari daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK.
Kasus Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe, misalnya, menjadi ironi nasional. Selama masa jabatannya, Provinsi Papua berulang kali memperoleh opini WTP. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar praktik gratifikasi dan pencucian uang bernilai ratusan miliar rupiah yang melibatkan pejabat tinggi provinsi. Ini membuktikan bahwa opini WTP bukan benteng moral terhadap tindak pidana korupsi.
Fenomena serupa juga terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Maka pertanyaannya, apakah WTP benar-benar mencerminkan kualitas tata kelola keuangan, atau sekadar hasil dari kemampuan teknokratis menyusun laporan keuangan dengan rapi di atas kertas?