WTP dan Ilusi Prestasi: Bahaya Politisasi Opini Audit
Di Pegunungan Arfak, pencapaian WTP tahun 2024 adalah yang pertama dalam masa pemerintahan pasangan Bupati Dominggus Saiba dan Wakil Bupati Andy Salabai (DOMAN). Tidak bisa dipungkiri, pencapaian ini akan dikapitalisasi secara politik, khususnya menjelang tahun-tahun strategis seperti tahun anggaran pemilu atau tahun evaluasi pembangunan.
Namun, yang harus dikritisi adalah: apakah masyarakat sudah merasakan dampak nyata dari tata kelola anggaran yang “wajar tanpa pengecualian”? Apakah mutu pelayanan publik membaik, infrastruktur kampung meningkat, dan distribusi anggaran merata ke 166 kampung dan 10 distrik seperti yang digembar-gemborkan?
Jika jawabannya belum, maka WTP belum menjelma sebagai nilai substansial. Ia hanya simbol administratif yang sering kali dipakai sebagai tameng untuk menghindari kritik atas keterbatasan kinerja pembangunan.
Fungsi DPRK dan Akuntabilitas yang Lemah
Kehadiran Ketua DPRK Pegaf saat penyerahan hasil audit di Manokwari tentu penting secara kelembagaan. Namun, publik perlu mengingat bahwa DPRK memiliki fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran. DPRK bukan sekadar menjadi pelengkap seremoni, melainkan mitra kritis dalam menilai bagaimana anggaran digunakan dan dipertanggungjawabkan.
Namun, lemahnya fungsi kontrol DPRK terhadap pelaksanaan APBD sering kali menjadi celah bagi permainan anggaran dan praktik transaksional antara legislatif dan eksekutif. Hal ini pernah disinggung dalam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2021 yang menyoroti tingginya risiko korupsi dalam hubungan eksekutif-legislatif di daerah.
Jika Pegunungan Arfak ingin menjadikan WTP sebagai pijakan menuju pemerintahan yang bersih, maka harus ada langkah konkret dari DPRK dan Inspektorat Daerah untuk melakukan audit kinerja dan audit tematik terhadap program-program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur kampung.