/

WTP Bukan Jaminan Bebas Korupsi — Refleksi untuk Pegunungan Arfak

/
987 dilihat
7 menit baca

Tantangan Transparansi di Wilayah Terpencil

Di wilayah seperti Pegunungan Arfak, tantangan besar dalam pengawasan anggaran adalah keterbatasan akses informasi, distribusi dokumen yang tidak merata, dan minimnya keterlibatan publik dalam proses perencanaan anggaran. Keterisolasian geografis sering dijadikan alasan oleh OPD untuk menghindari transparansi dan akuntabilitas.

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap badan publik wajib membuka informasi anggaran kepada masyarakat. Namun di lapangan, warga di distrik seperti Catubouw, Taige, atau Testega mungkin tidak pernah melihat rincian program dan realisasi anggaran tahunan. Ini menjadi akar dari ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, meski WTP sudah diperoleh berkali-kali.

WTP Seharusnya Menjadi Awal, Bukan Akhir

Bupati Pegaf telah menyatakan bahwa opini WTP adalah “cambuk” untuk bekerja lebih baik. Pernyataan ini tepat jika diterjemahkan sebagai komitmen untuk meningkatkan kualitas belanja publik, memperbaiki sistem pengendalian internal, dan mempersempit ruang korupsi.

Namun, untuk mewujudkan hal itu, Pegaf perlu membuka sistem informasi keuangan daerah, menyelenggarakan forum akuntabilitas publik, dan mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi penggunaan anggaran. Tanpa itu semua, WTP hanya akan menjadi gelar administratif yang kehilangan makna.

Pegaf Perlu Melangkah Lebih Jauh

Opini WTP patut diapresiasi sebagai hasil kerja kolektif. Namun euforia atas WTP seharusnya tidak membutakan kita terhadap praktik penyimpangan, lemahnya pengawasan internal, dan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya bersih. WTP bukanlah tujuan akhir. Ia adalah fondasi awal yang harus dilanjutkan dengan reformasi tata kelola dan pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan.

Baca juga:  Abolisi untuk Tom Lembong, Ujian Keadilan Presiden

Sebagai daerah yang sedang bertumbuh, Pegunungan Arfak memiliki kesempatan langka untuk menjadi contoh model pembangunan yang akuntabel dan partisipatif. WTP harus dimaknai sebagai momentum introspeksi, bukan alat pembenaran. *)

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Dilina

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

error: Maaf, seluruh konten dilindungi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta!